Selasa, 05 Juli 2011

Abdurrahman bin Auf, Sang Dermawan

Siang itu, Madinah sangat ramai. Para pedagang berlarian meninggalkan dagangannya menuju jalan raya. Pengunjung pasar sudah lebih dahulu meninggalkan para pedagang dan begitu saja melemparkan barang yang sedang ditawar. Rupanya, 700 ekor unta sarat dengan barang-barang dagangan di punggung masing-masing memasuki Kota Madinah. Itulah kafilah dagang milik Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat terkaya pada zaman Rasul SAW.

Suara hiruk-pikuk itu membuat kaget Ummul Mukminin Aisyah RA, yang pada saat itu sedang menyampaikan hadis Nabi. Setelah diberi tahu apa yang terjadi, Aisyah berkata: "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya bagi Abdurrahman dengan baktinya di dunia, serta pahala yang besar di akhirat. Aku pernah mendengar Rasul SAW bersabda bahwa Abdurrahman bin Auf akan masuk surga sambil merangkak."

Seorang sahabat berlari mencari Abdurrahman untuk mengabarkan berita gembira itu. Mendengar hal tersebut, Abdurrahman segera menemui Ummul Mukminin Aisyah. "Wahai ibunda, apakah ibunda mendengar sendiri ucapan itu dari Rasulullah?" Jawab Aisyah, "Ya aku mendengar sendiri."

Abdurrahman melonjak kegirangan. "Seandainya sanggup, aku akan memasukinya sambil berjalan. Wahai ibunda, saksikanlah, seluruh unta lengkap dengan barang dagangan di punggung masing-masing, aku dermakan untuk fi sabilillah."

Subhanallah, begitulah Abdurrahman, sang dermawan. Tidak salah Nabi menyatakan Abdurrahman masuk surga dengan merangkak. Bukan karena sulitnya masuk surga, melainkan karena begitu dekatnya sehingga tidak perlu lagi berjalan, cukup merangkak. Abdurrahman tidak pernah ragu menyumbangkan harta kekayaannya untuk kepentingan dakwah.

Pada suatu kesempatan, setelah mendengarkan seruan Rasul SAW untuk berjuang dengan harta benda, Abdurrahman bergegas pulang dan kembali membawa 2.000 dinar. "Wahai Rasulullah, aku mempunyai 4.000 dinar, dan 2.000 dinar aku pinjamkan kepada Allah dan 2.000 dinar untuk keluargaku."

Rasulullah menerimanya sambil bersabda: "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepadamu, terhadap harta benda yang kamu berikan, dan semoga Allah memberkahi pula harta yang kamu tinggalkan untuk keluargamu."

Ketika Rasul bersiap menghadapi Perang Tabuk, beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk mengorbankan harta bendanya untuk fi sabilillah. Kaum Muslimin memenuhi seruan Nabi yang mulia itu. Dan, Abdurrahman menyerahkan 200 uqiyah emas. Melihat jumlah itu, Umar berbisik kepada Nabi: "Agaknya Abdurrahman berdosa tidak meninggali uang belanja sedikit pun untuk keluarganya." Rasul menanyakannya kepada Abdurrahman. Ia menjawab, "Untuk mereka saya tinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang saya sumbangkan. Yakni sebanyak rezeki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah."

Sejak berita gembira akan menjadi penghuni surga itu, Abdurrahman semakin dermawan, semangatnya semakin tinggi dalam mengorbankan hartanya pada jalan Allah. Ia juga menyumbangkan lagi 40 ribu dinar, 500 ekor kuda, dan 1.500 ekor unta untuk para pejuang.

Dia juga membagikan 400 dinar kepada setiap veteran Perang Badar yang masih hidup dan lainnya. Aisyah sering mendoakannya, "Semoga Allah memberinya minum dengan minuman dari telaga Salsabil."


Oleh: Prof. Dr. Yunahar Ilyas

Menang Tanpa Mengalahkan Orang Lain

Juara adalah orang yang memenangkan sebuah perlombaan. Menjadi juara, tentu diinginkan oleh semua yang hidup, karena hidup sendiri adalah sebuah perlombaan, pertarungan, perjuangan dan persaingan. Entah dalam konteks yang positif, yakni tantangan untuk bertahan hidup dan menjadikan hidup kita memiliki kualitas yang sesuai keinginan, maupun dalam konteks kurang baik yang mengartikan persaingan sebagai sebuah kemampuan bertahan dan saling mengalahkan, yang jelas posisi juara atau pemenang selalu dikejar oleh manusia dalam kehidupannya.

Sering kita beranggapan bahwa seorang juara atau pemenang itu adalah yang nomor satu, berada di posisi pertama atau yang berhasil mengalahkan orang lain, menjatuhkan, bahkan membinasakan. Sering kita memaknai kemenangan sebagai sebuah hasil dari proses saling mendahului, saling mengalahkan, atau saling menyerang.

Padahal banyak cara agar kemenangan itu diperoleh tanpa harus merugikan orang lain. Atau dalam bahasa yang lebih simpel, bisa saja kita meraih kemenangan tanpa harus ada yang dikalahkan. Kita bisa menang bersama-sama.

Bukankah kemenangan itu sebenarnya adalah ketika kita mampu mengambil manfaat dari apapun yang terjadi atau menimpa kita. Kemenangan tak selalu harus menjadi nomor satu, rangking pertama, atau seorang yang menyingkirkan dan menumbangkan orang lain.

Kemenangan yang diperoleh dengan menjatuhkan orang lain, mungkin pada awalnya terasa sangat memuaskan. Namun kepuasan itu bukanlah kepuasan hakiki yang bakal diterima oleh hati nurani. Kepuasan karena bisa mengalahkan orang lain itu hanyalah kepuasan bagi hawa nafsu. Maka dia tak akan langgeng lagi menentramkan.

Lalu apakah kemenangan yang sejati itu? Mari simak ayat berikut:

Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 71)

Oleh: Abdillah Syafei

Menahan Marah

Khalifah Umar bin Abdul Aziz melihat seseorang yang mabuk. Ketika ia ditangkap untuk dihukum dera, tiba-tiba ia dimaki oleh orang yang mabuk tersebut. Khalifah Umar tidak jadi melaksanakan hukum deranya.

Melihat Khalifah Umar seperti  itu, para sahabat bertanya, "Ya amirul mukminin, mengapa setelah ia memaki Anda tiba-tiba Anda meninggalkan dia?" Khalifah menjawab, "Itu karena ia membuat aku jengkel. Kalau aku menghukumnya, mungkin karena aku marah kepadanya, bukan karena ia melanggar hukum Allah, dan aku tidak suka memukul seseorang hanya karena membela diriku sendiri."

Sangat tipis dan susah untuk membedakan antara menghukum karena Allah SWT dan menghukum karena amarah. Karena bagaimanapun, ketika kita menghukum, amarah akan menyertai bentuk hukuman yang kita berikan. Tidak seperti yang menimpa Khalifah Umar yang tidak bisa meneruskan eksekusi, karena takut berbuat salah dengan tidak tulus menghukum orang yang berbuat salah.

Hal yang sama juga pernah dialami Sayyidina Ali ra yang tidak jadi membunuh ketika sedang berada di medan perang lantaran ia telah diludahi oleh musuh yang sudah tak berdaya. Ali RA khawatir kalau membunuh musuhnya tersebut, bukan semata-mata karena menegakkan agama Allah, melainkan akibat dorongan nafsu dan emosi.

Dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak kita temukan perselisihan di antara manusia. Bahkan, hampir semua manusia akan mudah terpancing emosinya, hingga kemudian meledaklah kemarahannya.

Mengendalikan amarah memang tidak mudah. Dan, hanya orang-orang tertentu yang bisa menahan dan mengendalikan kemarahannya. Amarah ada di dalam diri manusia. Amarah adalah motivasi atau energi yang mendorong dan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Alangkah baiknya bila amarah itu diarahkan untuk menopang kinerja dan kreativitas hidup, sehingga menjadi lebih dinamis.

Banyak kerugian yang akan didapatkan ketika seseorang sedang emosi dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Pekerjaan bisa menjadi terbengkalai dan rekan sejawat pun bisa kena marah pula. Akibatnya, persoalan kecil bisa menjadi besar.

"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS al-Anbiya [21]: 87).

Rasulullah SAW bersabda, Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW; 'Nasihatilah saya!' Rasulullah SAW bersabda, 'Janganlah kamu marah!' Orang itu berkali-kali meminta nasihat kepada Rasulullah SAW, tetapi Rasul tetap menjawabnya dengan, 'Janganlah kamu marah'." (HR Bukhari).

Dari hadis di atas, tampak jelas bahwa Rasulullah SAW memerintahkan manusia untuk senantiasa menahan marahnya ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya. Sebab, akan banyak kerugian yang akan diterima, manakala kita tidak mampu menahan amarah.






Oleh: Encep Dulwahab

Keteladanan dalam Mendidik Anak

Nama Luqmanul Hakim sangat popular dalam dunia Islam, karena nasihat-nasihatnya yang penuh hikmah. Bukan sekadar pesan, namun nasihatnya merupakan pendidikan seorang bapak terhadap anaknya yang penuh dengan kasih sayang serta ajaran tentang akidah dan akhlak. Karena keteladanannya dalam mendidik anak itu pula, Allah mengabadikan namanya dalam Alquran, yakni Surah Luqman.

Tentang asal-usul Luqman, ada beda pendapat di antara para ulama. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan, ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat dia berasal dari Sudan. Dan, ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim di zaman Nabi Daud AS.

Ada enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama, larangan mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19).

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Luqman tersebut, terutama soal keteladanan seorang bapak dalam mendidik anak. Luqman menanamkan tauhid dan keimanan kepada Allah SWT, juga norma dan tata cara berhubungan dengan keluarga dan masyarakat luas. Luqman tidak hanya berbicara, tapi langsung memberikan uswah (teladan) kepada anaknya.

Urgensi keteladanan disebutkan dalam hadis nabi. "Barang siapa yang memberikan contoh baik, maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang yang mengikuti hingga hari kiamat, yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barang siapa yang memberi contoh buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang-orang yang mengikutinya." (HR Imam Muslim).

Dalam konteks sekarang, kisah Luqman perlu disosialisasikan secara terus-menerus di tengah bermunculannya kasus anak-anak yang tidak mendapatkan hak sewajarnya dalam keluarga. Mereka hidup nyaris tanpa perlindungan. Bahkan, banyak anak hidup di bawah ancaman dan kekerasan, karena orang tua lari dari tanggung jawab.
Di sisi lain, kini banyak perilaku negatif di masyarakat yang bisa mendorong anak-anak menjadi jauh dari akidah dan akhlak Islam. Tayang televisi yang kurang bermutu, serta maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, merupakan bagian dari penyebabnya. Akibatnya, anak-anak kerap mengalami krisis keteladanan.

Untuk itu,  keluarga memegang peran penting agar anak-anak menemukan keteladanan dalam hidupnya. Dari keluarga, anak menemukan tata nilai agama dan norma yang berhubungan dengan masyarakat, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW. Sehingga, terbentuk keluarga sakinah yang senantiasa dinaungi hidayah Allah SWT. Insya Allah.


Oleh: Khofifah Indar Parawansa (Mantan Menteri Peranan Wanita dan Ketua Umum DPP Muslimat NU)

Akhlakul Karimah...Oh Indahnya

Akhlakul karimah merupakan manivestasi keimanan dan keislaman paripurna seorang Muslim. Akhlakul karimah dalam pengertian luasnya ialah perilaku, perangai, ataupun adab yang didasarkan pada nilai-nilai wahyu sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Akhlakul karimah terbukti efektif dalam menuntaskan suatu permasalahan serumit apa pun.

Sebagai bukti, ketika Muhammad masih belum menerima wahyu, beliau mampu memberikan solusi atas sengketa para pemuka Quraisy yang berebut ingin mengangkat hajar aswad saat pemugaran Ka'bah telah usai. Masing-masing pemuka suku bersikeras dan merasa dirinya paling berhak untuk mengangkat hajar aswad. Pertentangan itu nyaris meletuskan peperangan.

Menghadapi situasi tersebut, beliau meminta sorban, kemudian hajar aswad diletakkan di atas sorban tersebut. Lalu, masing-masing pemuka Qurasisy memegang ujung sorban dan bersama-sama mengangkatnya. Kekisruhan pun mulai reda dan akhirnya sirna karena semua pihak merasa tidak dirugikan.

Bahkan, jauh ketika masa menjelang remaja, Muhammad SAW dicintai masyarakatnya karena kejujurannya. Ternyata masyarakat yang tidak mengenal adab pun ketika itu masih memiliki nurani dengan memberikan gelar al-amin (tepercaya) kepada putra Abdullah itu. Ini bukti bahwa sampai kapan pun akhlakul karimah akan selalu dicintai umat manusia.

Dalam sejarah kehidupan manusia, masalah, konflik, beda pendapat, senantiasa akan hadir. Oleh karena itu, Islam membawa ajaran yang mewajibkan seluruh umatnya memiliki akhlakul karimah. Mengutamakan toleransi dari pada konfrontasi, kasih sayang dari padasifat garang, simpati daripada benci.

Dalam konteks sederhana, orang berakhlak ialah orang yang sportif dalam bahasa olahraga. Apabila salah, ia katakan salah dan apabila benar maka ia pun siap mengungkapkan sesuai fakta yang terjadi. Menang tidak menjadikannya sombong, kalah pun tak membuatnya menjadi pendengki.

Bahkan, yang lebih menarik ialah, ia akan berani mengakui kesalahannya. Bukan malah memutarbalikkan fakta hanya karena gengsi kalau dirinya mengakui suatu kesalahan yang telah diperbuatnya. Maka, tidaklah heran jika Nabi SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."

Akhlak akan dimiliki oleh siapa saja yang secara sungguh-sungguh memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam. Dan, siapa saja yang berhasil menjadikan akhlakul karimah sebagai karakter dalam dirinya tentu ia akan menjadi orang yang paling beruntung, baik di dunia maupun di akhirat.

Orang berakhlak tidak memerlukan pencitraan apalagi memaksakan kehendak. Baginya, kepentingan bersama jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi dan golongannya.

Betapa indahnya jika semua elemen bangsa memiliki karakter akhlakul karimah. Saling memahami, mengutamakan toleransi dalam berbeda pendapat, saling menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan dan bergerak demi keutuhan bangsa dan negara.

Perlu diingat bahwa kecanggihan teknologi, sistem, dan regulasi apa pun, tidak akan memberi manfaat maksimal jika pribadi-pribadi bangsa ini tidak memiliki akhlakul karimah.












Oleh: Dr. Abdul Mannan

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes