Selasa, 05 Juli 2011

Abdurrahman bin Auf, Sang Dermawan

Siang itu, Madinah sangat ramai. Para pedagang berlarian meninggalkan dagangannya menuju jalan raya. Pengunjung pasar sudah lebih dahulu meninggalkan para pedagang dan begitu saja melemparkan barang yang sedang ditawar. Rupanya, 700 ekor unta sarat dengan barang-barang dagangan di punggung masing-masing memasuki Kota Madinah. Itulah kafilah dagang milik Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat terkaya pada zaman Rasul SAW.

Suara hiruk-pikuk itu membuat kaget Ummul Mukminin Aisyah RA, yang pada saat itu sedang menyampaikan hadis Nabi. Setelah diberi tahu apa yang terjadi, Aisyah berkata: "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya bagi Abdurrahman dengan baktinya di dunia, serta pahala yang besar di akhirat. Aku pernah mendengar Rasul SAW bersabda bahwa Abdurrahman bin Auf akan masuk surga sambil merangkak."

Seorang sahabat berlari mencari Abdurrahman untuk mengabarkan berita gembira itu. Mendengar hal tersebut, Abdurrahman segera menemui Ummul Mukminin Aisyah. "Wahai ibunda, apakah ibunda mendengar sendiri ucapan itu dari Rasulullah?" Jawab Aisyah, "Ya aku mendengar sendiri."

Abdurrahman melonjak kegirangan. "Seandainya sanggup, aku akan memasukinya sambil berjalan. Wahai ibunda, saksikanlah, seluruh unta lengkap dengan barang dagangan di punggung masing-masing, aku dermakan untuk fi sabilillah."

Subhanallah, begitulah Abdurrahman, sang dermawan. Tidak salah Nabi menyatakan Abdurrahman masuk surga dengan merangkak. Bukan karena sulitnya masuk surga, melainkan karena begitu dekatnya sehingga tidak perlu lagi berjalan, cukup merangkak. Abdurrahman tidak pernah ragu menyumbangkan harta kekayaannya untuk kepentingan dakwah.

Pada suatu kesempatan, setelah mendengarkan seruan Rasul SAW untuk berjuang dengan harta benda, Abdurrahman bergegas pulang dan kembali membawa 2.000 dinar. "Wahai Rasulullah, aku mempunyai 4.000 dinar, dan 2.000 dinar aku pinjamkan kepada Allah dan 2.000 dinar untuk keluargaku."

Rasulullah menerimanya sambil bersabda: "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepadamu, terhadap harta benda yang kamu berikan, dan semoga Allah memberkahi pula harta yang kamu tinggalkan untuk keluargamu."

Ketika Rasul bersiap menghadapi Perang Tabuk, beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk mengorbankan harta bendanya untuk fi sabilillah. Kaum Muslimin memenuhi seruan Nabi yang mulia itu. Dan, Abdurrahman menyerahkan 200 uqiyah emas. Melihat jumlah itu, Umar berbisik kepada Nabi: "Agaknya Abdurrahman berdosa tidak meninggali uang belanja sedikit pun untuk keluarganya." Rasul menanyakannya kepada Abdurrahman. Ia menjawab, "Untuk mereka saya tinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang saya sumbangkan. Yakni sebanyak rezeki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah."

Sejak berita gembira akan menjadi penghuni surga itu, Abdurrahman semakin dermawan, semangatnya semakin tinggi dalam mengorbankan hartanya pada jalan Allah. Ia juga menyumbangkan lagi 40 ribu dinar, 500 ekor kuda, dan 1.500 ekor unta untuk para pejuang.

Dia juga membagikan 400 dinar kepada setiap veteran Perang Badar yang masih hidup dan lainnya. Aisyah sering mendoakannya, "Semoga Allah memberinya minum dengan minuman dari telaga Salsabil."


Oleh: Prof. Dr. Yunahar Ilyas

Menang Tanpa Mengalahkan Orang Lain

Juara adalah orang yang memenangkan sebuah perlombaan. Menjadi juara, tentu diinginkan oleh semua yang hidup, karena hidup sendiri adalah sebuah perlombaan, pertarungan, perjuangan dan persaingan. Entah dalam konteks yang positif, yakni tantangan untuk bertahan hidup dan menjadikan hidup kita memiliki kualitas yang sesuai keinginan, maupun dalam konteks kurang baik yang mengartikan persaingan sebagai sebuah kemampuan bertahan dan saling mengalahkan, yang jelas posisi juara atau pemenang selalu dikejar oleh manusia dalam kehidupannya.

Sering kita beranggapan bahwa seorang juara atau pemenang itu adalah yang nomor satu, berada di posisi pertama atau yang berhasil mengalahkan orang lain, menjatuhkan, bahkan membinasakan. Sering kita memaknai kemenangan sebagai sebuah hasil dari proses saling mendahului, saling mengalahkan, atau saling menyerang.

Padahal banyak cara agar kemenangan itu diperoleh tanpa harus merugikan orang lain. Atau dalam bahasa yang lebih simpel, bisa saja kita meraih kemenangan tanpa harus ada yang dikalahkan. Kita bisa menang bersama-sama.

Bukankah kemenangan itu sebenarnya adalah ketika kita mampu mengambil manfaat dari apapun yang terjadi atau menimpa kita. Kemenangan tak selalu harus menjadi nomor satu, rangking pertama, atau seorang yang menyingkirkan dan menumbangkan orang lain.

Kemenangan yang diperoleh dengan menjatuhkan orang lain, mungkin pada awalnya terasa sangat memuaskan. Namun kepuasan itu bukanlah kepuasan hakiki yang bakal diterima oleh hati nurani. Kepuasan karena bisa mengalahkan orang lain itu hanyalah kepuasan bagi hawa nafsu. Maka dia tak akan langgeng lagi menentramkan.

Lalu apakah kemenangan yang sejati itu? Mari simak ayat berikut:

Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 71)

Oleh: Abdillah Syafei

Menahan Marah

Khalifah Umar bin Abdul Aziz melihat seseorang yang mabuk. Ketika ia ditangkap untuk dihukum dera, tiba-tiba ia dimaki oleh orang yang mabuk tersebut. Khalifah Umar tidak jadi melaksanakan hukum deranya.

Melihat Khalifah Umar seperti  itu, para sahabat bertanya, "Ya amirul mukminin, mengapa setelah ia memaki Anda tiba-tiba Anda meninggalkan dia?" Khalifah menjawab, "Itu karena ia membuat aku jengkel. Kalau aku menghukumnya, mungkin karena aku marah kepadanya, bukan karena ia melanggar hukum Allah, dan aku tidak suka memukul seseorang hanya karena membela diriku sendiri."

Sangat tipis dan susah untuk membedakan antara menghukum karena Allah SWT dan menghukum karena amarah. Karena bagaimanapun, ketika kita menghukum, amarah akan menyertai bentuk hukuman yang kita berikan. Tidak seperti yang menimpa Khalifah Umar yang tidak bisa meneruskan eksekusi, karena takut berbuat salah dengan tidak tulus menghukum orang yang berbuat salah.

Hal yang sama juga pernah dialami Sayyidina Ali ra yang tidak jadi membunuh ketika sedang berada di medan perang lantaran ia telah diludahi oleh musuh yang sudah tak berdaya. Ali RA khawatir kalau membunuh musuhnya tersebut, bukan semata-mata karena menegakkan agama Allah, melainkan akibat dorongan nafsu dan emosi.

Dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak kita temukan perselisihan di antara manusia. Bahkan, hampir semua manusia akan mudah terpancing emosinya, hingga kemudian meledaklah kemarahannya.

Mengendalikan amarah memang tidak mudah. Dan, hanya orang-orang tertentu yang bisa menahan dan mengendalikan kemarahannya. Amarah ada di dalam diri manusia. Amarah adalah motivasi atau energi yang mendorong dan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Alangkah baiknya bila amarah itu diarahkan untuk menopang kinerja dan kreativitas hidup, sehingga menjadi lebih dinamis.

Banyak kerugian yang akan didapatkan ketika seseorang sedang emosi dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Pekerjaan bisa menjadi terbengkalai dan rekan sejawat pun bisa kena marah pula. Akibatnya, persoalan kecil bisa menjadi besar.

"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS al-Anbiya [21]: 87).

Rasulullah SAW bersabda, Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW; 'Nasihatilah saya!' Rasulullah SAW bersabda, 'Janganlah kamu marah!' Orang itu berkali-kali meminta nasihat kepada Rasulullah SAW, tetapi Rasul tetap menjawabnya dengan, 'Janganlah kamu marah'." (HR Bukhari).

Dari hadis di atas, tampak jelas bahwa Rasulullah SAW memerintahkan manusia untuk senantiasa menahan marahnya ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya. Sebab, akan banyak kerugian yang akan diterima, manakala kita tidak mampu menahan amarah.






Oleh: Encep Dulwahab

Keteladanan dalam Mendidik Anak

Nama Luqmanul Hakim sangat popular dalam dunia Islam, karena nasihat-nasihatnya yang penuh hikmah. Bukan sekadar pesan, namun nasihatnya merupakan pendidikan seorang bapak terhadap anaknya yang penuh dengan kasih sayang serta ajaran tentang akidah dan akhlak. Karena keteladanannya dalam mendidik anak itu pula, Allah mengabadikan namanya dalam Alquran, yakni Surah Luqman.

Tentang asal-usul Luqman, ada beda pendapat di antara para ulama. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan, ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat dia berasal dari Sudan. Dan, ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim di zaman Nabi Daud AS.

Ada enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama, larangan mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19).

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Luqman tersebut, terutama soal keteladanan seorang bapak dalam mendidik anak. Luqman menanamkan tauhid dan keimanan kepada Allah SWT, juga norma dan tata cara berhubungan dengan keluarga dan masyarakat luas. Luqman tidak hanya berbicara, tapi langsung memberikan uswah (teladan) kepada anaknya.

Urgensi keteladanan disebutkan dalam hadis nabi. "Barang siapa yang memberikan contoh baik, maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang yang mengikuti hingga hari kiamat, yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barang siapa yang memberi contoh buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang-orang yang mengikutinya." (HR Imam Muslim).

Dalam konteks sekarang, kisah Luqman perlu disosialisasikan secara terus-menerus di tengah bermunculannya kasus anak-anak yang tidak mendapatkan hak sewajarnya dalam keluarga. Mereka hidup nyaris tanpa perlindungan. Bahkan, banyak anak hidup di bawah ancaman dan kekerasan, karena orang tua lari dari tanggung jawab.
Di sisi lain, kini banyak perilaku negatif di masyarakat yang bisa mendorong anak-anak menjadi jauh dari akidah dan akhlak Islam. Tayang televisi yang kurang bermutu, serta maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, merupakan bagian dari penyebabnya. Akibatnya, anak-anak kerap mengalami krisis keteladanan.

Untuk itu,  keluarga memegang peran penting agar anak-anak menemukan keteladanan dalam hidupnya. Dari keluarga, anak menemukan tata nilai agama dan norma yang berhubungan dengan masyarakat, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW. Sehingga, terbentuk keluarga sakinah yang senantiasa dinaungi hidayah Allah SWT. Insya Allah.


Oleh: Khofifah Indar Parawansa (Mantan Menteri Peranan Wanita dan Ketua Umum DPP Muslimat NU)

Akhlakul Karimah...Oh Indahnya

Akhlakul karimah merupakan manivestasi keimanan dan keislaman paripurna seorang Muslim. Akhlakul karimah dalam pengertian luasnya ialah perilaku, perangai, ataupun adab yang didasarkan pada nilai-nilai wahyu sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Akhlakul karimah terbukti efektif dalam menuntaskan suatu permasalahan serumit apa pun.

Sebagai bukti, ketika Muhammad masih belum menerima wahyu, beliau mampu memberikan solusi atas sengketa para pemuka Quraisy yang berebut ingin mengangkat hajar aswad saat pemugaran Ka'bah telah usai. Masing-masing pemuka suku bersikeras dan merasa dirinya paling berhak untuk mengangkat hajar aswad. Pertentangan itu nyaris meletuskan peperangan.

Menghadapi situasi tersebut, beliau meminta sorban, kemudian hajar aswad diletakkan di atas sorban tersebut. Lalu, masing-masing pemuka Qurasisy memegang ujung sorban dan bersama-sama mengangkatnya. Kekisruhan pun mulai reda dan akhirnya sirna karena semua pihak merasa tidak dirugikan.

Bahkan, jauh ketika masa menjelang remaja, Muhammad SAW dicintai masyarakatnya karena kejujurannya. Ternyata masyarakat yang tidak mengenal adab pun ketika itu masih memiliki nurani dengan memberikan gelar al-amin (tepercaya) kepada putra Abdullah itu. Ini bukti bahwa sampai kapan pun akhlakul karimah akan selalu dicintai umat manusia.

Dalam sejarah kehidupan manusia, masalah, konflik, beda pendapat, senantiasa akan hadir. Oleh karena itu, Islam membawa ajaran yang mewajibkan seluruh umatnya memiliki akhlakul karimah. Mengutamakan toleransi dari pada konfrontasi, kasih sayang dari padasifat garang, simpati daripada benci.

Dalam konteks sederhana, orang berakhlak ialah orang yang sportif dalam bahasa olahraga. Apabila salah, ia katakan salah dan apabila benar maka ia pun siap mengungkapkan sesuai fakta yang terjadi. Menang tidak menjadikannya sombong, kalah pun tak membuatnya menjadi pendengki.

Bahkan, yang lebih menarik ialah, ia akan berani mengakui kesalahannya. Bukan malah memutarbalikkan fakta hanya karena gengsi kalau dirinya mengakui suatu kesalahan yang telah diperbuatnya. Maka, tidaklah heran jika Nabi SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."

Akhlak akan dimiliki oleh siapa saja yang secara sungguh-sungguh memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam. Dan, siapa saja yang berhasil menjadikan akhlakul karimah sebagai karakter dalam dirinya tentu ia akan menjadi orang yang paling beruntung, baik di dunia maupun di akhirat.

Orang berakhlak tidak memerlukan pencitraan apalagi memaksakan kehendak. Baginya, kepentingan bersama jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi dan golongannya.

Betapa indahnya jika semua elemen bangsa memiliki karakter akhlakul karimah. Saling memahami, mengutamakan toleransi dalam berbeda pendapat, saling menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan dan bergerak demi keutuhan bangsa dan negara.

Perlu diingat bahwa kecanggihan teknologi, sistem, dan regulasi apa pun, tidak akan memberi manfaat maksimal jika pribadi-pribadi bangsa ini tidak memiliki akhlakul karimah.












Oleh: Dr. Abdul Mannan

Jika Mampu Mengapa Harus Minta

Masjid di kampung kami sudah tua, entah kapan mulai dibangun, yang jelas sedari kecil aku sudah shalat di masjid itu. Bangunan semipermanen, di depannya ada sebuah kolam ikan. Di pinggir kolam ikan ada sebuah bangunan kecil tempat beduk digantungkan. Kami menamainya Rumah Tabuah. Di sampingnya, ada warung berlantai dua, tempat khatib tinggal dan berjualan. Beliaulah yang secara rutin mengurus masjid setiap hari.

Jamaah masjid mengusulkan agar masjid itu diperbarui menjadi lebih indah dan modern. Tetapi, usulan itu tidak kunjung diterima karena masih ada yang berpendapat masjid wakaf tak boleh dirobohkan, sebelum ada yang baru agar pahalanya tetap mengalir kepada waqif.

Pengurus masjid yang dipimpin khatib menemui Buya Datuak Palimo Kayo, ulama yang sangat berpengaruh di Sumatra Barat. Beliau orang sumando kampung kami. Buya Datuak menyetujui rencana pembangunan masjid baru. "Sekalipun masjid lama dirobohkan, lalu dibangun masjid baru yang lebih bagus, insya Allah pahalanya tetap mengalir untuk waqif masjid lama. Allah tidak akan menyia-nyiakan amalan hambanya," kata Buya Datuak meyakinkan. Persoalan wakaf sudah dianggap selesai, tinggal masalah dana.

Dalam rapat pertama Panitia Pembangunan Masjid, muncul usul cemerlang dari anggota panitia. "Buya Datuak kan sahabat dekat Pak Natsir. Sementara Bapak Natsir sangat dihormati dan dipercaya oleh beberapa negara Arab, terutama negara-negara Teluk yang kaya raya, seperti Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab. Sudah banyak bantuan pembangunan masjid yang disalurkan negara-negara kaya tersebut melalui Pak Natsir. Jadi, kita tinggal minta Buya Datuak menghubungi Pak Natsir."

Usulan panjang lebar dari anggota panitia tadi segera disahuti dengan koor setuju oleh seluruh panitia. Memang benar, sebagai sesama tokoh Masyumi, Buya Datuak-lengkapnya Haji Mansur Daud Datuak Palimo Kayo-bersahabat karib dengan Dr M Natsir, tokoh Masyumi, mantan perdana menteri NKRI. Buya Datuak pernah menjadi duta besar RI untuk Irak. Setelah Masyumi bubar, dua tokoh ini sama-sama aktif di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Pak Natsir jadi ketua umum DDII di pusat, sementara Buya Datuak jadi ketua DDII Sumatra Barat dan sekaligus ketua MUI Sumbar.

Dengan harapan yang besar, panitia menemui Buya Datuak menyampaikan maksudnya. Di luar dugaan, Buya Datuak marah besar. "Angku-angku semua punya rumah bagus, punya toko, sawah, dan kebun, bukan orang miskin. Kenapa untuk membangun semua rumah Allah harus meminta-minta sampai ke Arab? Apa angku-angku tidak malu dengan Allah? Atau, angku-angku memang ingin dimiskinkan oleh Allah?"

Besoknya Buya Datuak meminta diadakan tabligh akbar. Dari atas mimbar, beliau menyampaikan berbagai pesan. "Ibuk-ibuk yang memakai perhiasan emas harap dilepaskan untuk pembangunan masjid. Bapak-bapak yang bawa dompet, harap mengeluarkan semua uang untuk pembangunan masjid." Jamaah pun mematuhi permintaan Buya Datuak. Dan, terkumpullah dana awal untuk pembangunan masjid.

Beberapa tahun kemudian, masjid baru yang megah dan indah berdiri, tanpa harus meminta satu riyal pun dari negara Arab. Itulah pelajaran dari Buya Datuak. Jika kita mampu, mengapa harus meminta?




Oleh: Prof. Dr. Yunahar Ilyas

Senin, 04 Juli 2011

Umar dengan Umur

Umar bin Khattab (581-644) adalah khalifah yang telah membentangkan pengaruh Islam di sejumlah wilayah yang berada di luar Arab Saudi. Di masanya, Mesopotamia, sebagian Persia, Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara, dan Armenia, jatuh ke dalam kekuasaan Islam.

Kekuatan sebagai pemimpin sangat luar biasa, hadir berkat tempaan sang pemimpin agung, Muhammad Rasulullah SAW. Namun, dibalik kesuksesannnya sebagai pemimpin negara, Umar tetaplah seorang pribadi yang sangat sederhana.

Suatu hari, anak laki-laki Umar bin Khattab pulang sambil menangis. Sebabnya, anak sang khalifah itu selalu diejek teman-temannya karena bajunya jelek dan robek. Umar lalu menghiburnya. Berganti hari, ejekan teman-temannya itu terjadi lagi, dan sang anak pun pulang dengan menangis.

Setelah terjadi beberapa kali, rasa ibanya sebagai ayah mulai tumbuh. Tak cukup nasihat, anak itu meminta dibelikan baju baru. Tapi, dari mana uangnya? Umar bingung, gajinya sebagai khalifah tidak cukup untuk membeli baju baru. Setelah berpikir, ia pun punya ide. Umar menyurati baitul mal (bendahara negara).

Isi surat itu, (kira-kira bunyinya begini): "Kepada Kepala Baitul Mal, dari Khalifah Umar. Aku bermaksud meminjam uang untuk membeli baju buat anakku yang sudah robek. Untuk pembayarannya, potong saja gajiku sebagai khalifah setiap bulan. Semoga Allah merahmati kita semua."

Mendapati surat dari sang Khalifah Umar, kepala baitul mal pun memberikan surat balasan. Bunyinya, kurang lebih begini: "Wahai Amirul Mukminin, surat Anda sudah kami terima, dan kami maklum dengan isinya. Engkau mengajukan pinjaman, dan pembayarannya agar dipotong dari gaji engkau sebagai khalifah setiap bulan. Tetapi, sebelum pengajuan itu kami penuhi, tolong jawab dulu pertanyaan ini, dari mana engkau yakin bahwa besok engkau masih hidup?"

Membaca balasan surat itu, bergetarlah hati Umar. Tubuhnya seakan lemas tak bertulang. Umar tidak bisa membuktikan bahwa esok hari ia masih hidup. Ia sadar telah berbuat salah. Ia bersujud sambil beristigfar memohon ampun kepada Allah.

Setelah memohon ampun, ia pun memanggil anaknya. "Wahai anakku, maafkan ayahmu. Aku tak sanggup membelikan baju baru untukmu. Ketahuilah, kemuliaan seseorang bukan diukur dari bajunya, melainkan dari kemuliaan akhlaknya. Sekarang, pergilah engkau ke sekolah, dan katakan saja kepada teman-temanmu bahwa ayahmu tak punya uang untuk membeli baju baru."

Alangkah luar biasanya perhatian dan kewaspadaan seorang pemimpin dan bawahan. Mereka saling memberikan nasihat dan peringatan. Kisah ini menohok kesadaran kita tentang perilaku para pemimpin sekarang di negeri ini.

Alih-alih mengutamakan kesederhanaan dan kemuliaan akhlak, mereka malah saling berebut kekuasaan dan memperkaya diri dengan perilaku korup. Semua itu dilakukan tanpa rasa bersalah. Bahkan, antara atasan dan bawahan saling menutupi kesalahan satu sama lain. Tak heran bila Allah menimpakan azab demi azab (bencana) untuk menyadarkan kita agar senantiasa takut kepada-Nya. Wallahu a'lam.


Oleh: Moeflich Hasbullah

Hakikat Takut kepada Allah

Kalau dinasihati untuk jangan melakukan kejahatan, karena semua perbuatan dicatat malaikat, tetap saja kejahatan demi kejahatan dilakukan. Akan tetapi kalau ada tanda peringatan bahwa kamera CCTV memantau Anda, barulah  takut untuk berbuat salah.

Masih banyaknya manusia yang melakukan kejahatan dan kemaksiatan adalah disebabkan oleh tingkatan imannya  yang masih rendah dan belum mencapai kepada tahap keyakinan total kepada perkara-perkara yang gaib. Seseorang lebih takut kepada CCTV yang memantaunya secara temporer dan kondisional daripada takut kepada malaikat pencatat amal yang memantaunya setiap saat, tanpa batas waktu, dan tempat; malaikat.

Orang lebih menjaga dari perilaku kejahatan atau perbuatan dosa yang apabila diketahui oleh publik akan menimbulkan efek yang tidak menguntungkan bagi pelakunya. Seseorang akan merasa lebih takut apabila dosa dan kejahatannya itu diketahui oleh orang lain, daripada takut diketahui oleh Allah. 

Namun, adanya rasa malu pada jiwa seseorang disebabkan perbuatan dosanya diketahui oleh orang lain masih lebih baik daripada melakukan dosa atau kejahatan secara terang-terangan, tanpa rasa malu. Karena perasaan malu mengindikasikan adanya keimanan pada diri orang tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, "Malu itu adalah cabang daripada iman." (HR Bukhari).

Hakikatnya, iman yang kuat akan mendorong seseorang untuk lebih bertaqwa atau takut kepada Allah, sehingga segala godaan untuk melakukan laranganNya dan godaan untuk meninggalkan perintahNya dapat dikalahkan.  Sebaliknya iman yang lemah akan menjadikan seseorang lebih liar, dan bahkan rasa takutnya kepada Allah dapat dilumpuhkan oleh selainNya, sehingga segala rayuan Syaitan yang datang kepadanya tidak dapat dihindarkan. Perintah agama diabaikan sedangkan larangannya dikerjakan.

Semua kenyataan ini kembali kepada kata kunci atau muaranya, yaitu kualitas iman dan takwa kepada Allah SWT.

Orang-orang yang takut kepada Allah ialah golongan yang selamat dari keinginan untuk melakukan aksi jahat dan berbuat maksiat.  Alquran sudah menegaskan, bahwa orang yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya tidak lain adalah orang-orang yang berilmu. (QSFathir:28)

Diriwayatkan dari Abu Hayyan At-Taimy, bahwa dia berkata, "Orang-orang yang berilmu terdiri dari tiga golongan: Pertama, orang yang mengetahui Allah namun tidak mengenal perintah Allah. Kedua, orang yang mengetahui perintah Allah namun tidak mengenal Allah. Ketiga, orang yang mengetahui Allah dan juga mengetahui perintah Allah."  (Kitabul Iman, Imam Ibn Taimiyah).

Sedangkan Imam Ibn Taimiyah menegaskan, "Selagi seseorang melakukan sesuatu, sementara dia juga mengetahui bahwa sesuatu itu mendatangkan mudharat kepadanya, maka orang seperti ini layaknya orang yang tidak berakal. Sebab, ketakutan kepada Allah mengharuskan ilmu tentang Allah, maka ilmu tentang Allah juga mengharuskan ketakutan kepadaNya. Dan takut kepada Allah harus melahirkan ketaatan kepadaNya. Orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang-orang yang mengerjakan perintah-perintahNya serta menghindari segala bentuk larangan-Nya." Wallahu'alam bisshowab.

Oleh: Imron Baehaqi Lc (Ketua Bidang Dakwah & Tarjih Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kuala Lumpur)

Hakikat Cinta dan Pernikahan dalam Islam

Cinta mengandung energi yang sangat besar, energi yang sangat luar biasa. Itulah kenapa seorang ibu rela berkorban sekalipun nyawanya demi sang anak. Seorang suami dapat tak hiraukan lelah dan peluh yang bercucuran demi anak istrinya. Para sahabat rela berkorban demi Allah dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Dan Romeo yang rela mati demi Juliet kekasihnya (sebenarnya ini adalah perbuatan bodoh atas nama cinta).

Energi cinta yang besar mempunyai kekuatan untuk mendorong seseorang melakukan sesuatu diluar akal sehatnya. Dan memberi kekuatan besar bagi seseorang untuk melakukan Sesuatu yang ia cintai.

Namun sayang, seringkali kekuatan energi cinta yang begitu besar menguap begitu saja tanpa ada sinergi dengan hal positif. Hal ini banyak terjadi dikalangan kawula muda kita, sahabat-sahabat kita, dan saudara-sadara kita. Atau mungkin justru kita sendiri. Cinta yang mereka usung selalu semu dan fana. Terbukti dengan kekecewaan, dan kesedihan yang diderita pada akhirnya secara sia-sia.

Sudah menjadi fitrah cinta yang timbul antara pria dan wanita yang bukan mahram. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam Al Quranul Karim. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Q.S Ar Rum [30] : 21).

Cinta walaupun mempunyai energi yang luar biasa namun ia juga rapuh. Islam mensyariatkan pernikahan untuk untuk melindunginya dari kemadharatan yang ada padanya. Dengan akad pernikahan, Islam menghalalkan segala macam bentuk ekspresi cinta dari pasangan suami istri. Bahkan setiap ekspresi dari cinta tersebut bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Pengorbanan atas nama cinta tidak lagi menjadi sia-sia. Akan tetapi bernilai sangat istimewa.

Rasa letih, lelah sang kepala keluarga untuk anak istri menjadi ibadah. Kesabaran istri dalam taat kepada suami, melayaninya dan mengasuh serta mendidik anak-anaknya menjadi ibadah. Dari hal terkecil sampai dengan hal yang paling besar terhitung ibadah.

Kerapuhan cinta bisa membuat dua insan berpisah. Dalam syariat pernikahan Islam. Islam menjaga hak setiap pihak, sehingga tidak ada yang dirugikan. Ketika terjadi perpisahan atau perceraian hak dan kewajiban dari kedua belah pihak telah diatur dengan sempurna. Dari mulai yang terkait dengan diri sendiri secara langsung. Seperti mut-ah (pemberian kepada istri ketika dicerai), dan aturan untuk rujuk. Maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti pembagian waris dan aturan menikah kembali dengan pasangan yang berbeda.

Tidak ada isitilah pihak yang dirugikan disini. Pihak yang lepas dari tanggung jawabnya seperti menelantarkan anak dan istrinya. Ia akan diperhitungkan baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT. Keributan akibat harta gono-gini antara pasangan pun tidak akan terjadi. Karena telah diatur dalam pembagian waris dan penentuan kepemilikan harta.

Dengan demikian energi cinta yang besar tidak akan sia-sia serta tidak membahayakan. Rapuhnya pun tidak akan merugikan satu pihak, apalagi menderita sia-sia. Seperti pasangan yang ditinggal kekasihnya dan ia dalam keadaan mengandung, misalnya. Dari sini kita juga dapat mengatakan, penghargaan tertinggi untuk wanita atas nama cinta adalah pernikahan secara Islam. Wallahu a’lam bish-shawab.


Oleh : Agustiar Nur Akbar (mahasiswa di Kairo, Mesir)

Satu Kesulitan VS Dua Kemudahan

Percayalah pada janji Allah. Pun disaat kita diamuk gulana.

Semuanya sudah termaktub dalam lembaran ayat suci-Nya. Bacalah surah Al-Insyirah ayat 5 dan 6: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS  Al-Insyirah: 5-6).

Tentu ayat di atas sudah tak asing lagi bagi kita. Kita seringkali mendengar ayat ini, namun kadang hati kita masih saja lalai, sehingga tidak betul-betul merenungkannya. Atau mungkin kita pun belum memahaminya. Padahal jika ayat tersebut betul-betul direnungkan sungguh luar biasa faedah yang dapat kita petik. Jika kita benar-benar mentadabburi ayat di atas, sungguh berbagai kesempitan akan terasa ringan dan semakin mudah kita pikul.

Percayalah...

“Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.”

‘Abdullah bin Mas’ud RA pernah berkata, “Seandainya kesulitan masuk ke dalam suatu lubang, maka kemudahan pun akan mengikutinya..."

Yakinlah saudaraku...

Bahwa di balik setiap kesulitan pasti ada kemudahan yang begitu dekat. Mungkin di awal-awal kesulitan, belum datang pertolongan atau jalan keluar. Namun ketika kesulitan semakin memuncak, semakin di ujung tanduk, maka setelah itu datanglah kemudahan. Mengapa demikian ya? Itu karena di puncak kesulitan, hati sudah begitu amat pasrah. Segala suatu telah diserahkan seluruhnya pada Allah, Rabb tempat bergantung segala urusan. Itulah yang dinamakan hakekat dari tawakkal.

Kuncinya adalah sabar. Sabar menanti adanya kelapangan adalah solusi paling ampuh dalam menghadapi masalah, bukan dengan mengeluh dan berkeluh kesah.

Imam Asy Syafi’i pernah berkata dalam bait syair:
Bersabarlah yang baik, maka niscaya kelapangan itu begitu dekat.
Barangsiapa yang mendekatkan diri pada Allah untuk lepas dari kesulitan, maka ia pasti akan selamat.
Barangsiapa yang begitu yakin dengan Allah, maka ia pasti tidak merasakan penderitaan.
Barangsiapa yang selalu berharap pada-Nya, maka Allah pasti akan memberi pertolongan.

Oleh: Deasy Lyna Tsuraya (Penulis adalah  Pemimpin Redaksi Buletin Pernik Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar  UNJ (2009-2010) dan pengarang lima buku sastra)

Belajar dari Fatimah RA

Kasih sayang orang tua manakah yang melebihi kasih sayang Rasulullah Muhammad SAW kepada Fatimah RA putrinya.

Seperti dipetik dalam the Stories of Sahabah bahwa Ali RA pernah berkisah kepada murid-muridnya tentang Fatimah, putri kesayangan Rasulullah itu.  “Fatimah biasa mengolah gandum sendiri sehingga kulit tangannya menjadi tebal.  Dia bawakan air untuk keperluan rumah tangganya dengan sebuah kantong kulit sehingga meninggalkan bekas-bekas di kulitnya.  Dia bersihkan sendiri rumahnya sehingga menjadi kotor pakaiannya."

Ketika mendengar para tawanan perang dibawa ke Madinah, aku berkata kepadanya, 'Pergilah kepada Rasulullah dan mintalah pelayan untuk membantumu di dalam pekerjaan rumah tangga.' Dia pun pergi kepada Rasulullah, tetapi menemukan sedang banyak orang di sekelilingnya.  Karena sangat sopan dan rendah hati, Fatimah merasa berat untuk memohon kepada Rasulullah di hadapan orang lain.”

Keesokan harinya Rasulullah datang ke rumah kami dan berkata:  “Fatimah, apa yang menyebabkan engkau datang menemuiku kemarin?”  Fatimah merasa malu dan tetap diam. aku berkata “Ya Rasulullah, kulit Fatimah menjadi tebal dan berbekas karena mengolah gandum dan mengambil air.  Dia selalu sibuk membersihkan rumah sehingga pakaiannya selalu kotor. Saya informasikan kepadanya tentang tawanan perang dan menyarankannya menemuimu untuk meminta seorang pelayan.”

Rasulullah menjawab, “Fatimah, takutlah kepada Allah!  Bertakwalah dan ketika pergi tidur hendaklah kau baca Subhaanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali.  Kau akan merasakan bahwa ini akan lebih membantumu daripada seorang pelayan."  Fatimah berkata,  “Saya bersama Allah dan Rasul-Nya.”

Adalah Rasulullah SAW sendiri yang memberikan teladan dengan selalu ringan tangan membantu anggota keluarganya.  Pantaslah jika Fatimah RA menurutinya.

Bahkan di dalam Khashaish Madrasatin Nubuwah diriwayatkan bahwa Fatimah binti Muhammad telah mengisi seluruh lembaran hidupnya dengan bekerja keras.  Bayangkan saja, di dalam satu waktu, Fatimah sanggup mengolah tepung dengan tangannya, sambil kakinya membuai Husain, mulutnya membaca Alquran, dan matanya menangis karena takut kepada Allah SWT.  Seandainya hidupnya lebih panjang, dan ada peluang untuk melakukan lebih banyak pekerjaan, niscaya akan dihadapinya dengan tegar dan ceria.

Ali RA suaminya pun seorang pekerja keras yang tidak pernah memilih-milih pekerjaan.  Pernah suatu ketika ia terpaksa membantu seorang wanita tua mengangkat 16 ember, demi mendapatkan 1 butir korma untuk setiap embernya, hingga tangannya bengkak-bengkak.  Ketika ditunjukkan hasil pekerjaannya kepada Rasulullah SAW, beliaupun tersenyum, menunjukkan keridhaannya dengan ikut memakan kurma hasil pekerjaannya itu. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: Abi Muhammad Ismail Halim

Anger Management ala Rasulullah SAW

Siapakah orang yang paling kuat itu? siapakah para pemenang itu? Nabi Muhammad SAW mempunyai versi sendiri tentang hal ini. Dalam sebuah hadis  diriwayatkan ”Orang yang yang paling kuat bukanlah orang yang dapat mengalahkan orang lain dengan kekuatannya, tetapi orang yang mampu mengendalikan amarahnya.” (HR  Bukhari)

Apabila seseorang mampu mengendalikan kemarahan, maka bisa dipastikan orang tersebut sangat istimewa. Pernahkah kita mendengar kisah Nabi Muhammad yang murka akibat dilecehkan? Bahkan ketika dengan rutin beliau dilempari kotoran oleh seorang Yahudi, dan kemudian si Yahudi lama menghilang karena sakit, Nabiullah pergi menjenguknya tanpa amarah sedikitpun di dalam dada.

Pun ketika beliau sedang shalat dan diserang oleh seseorang yang membencinya, beliau memilih untuk meneruskan shalat dan bukan menyerang balik. Kontrol emosi manalagi yang lebih sempurna dari itu semua?

Seorang laki-laki pernah menghadap Nabi Muhammad dan meminta nasihat. Ia berkata, ”Nasihati aku.” Nabi SAW bersabda, ”Jangan mudah marah.” Orang itu berkata lagi beberapa kali dan Nabi bersabda, ”Jangan mudah marah.”

Mengapa Nabi Muhammad Saw meyarankan hal ini? Tentu bukan tanpa alasan. Dari sisi medis ternyata orang yang mudah marah gampang terkena penyakit. Di dalam darah orang marah terkandung banyak hormon adrenalin, hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal ini akan dilepaskan ke dalam darah ketika ada rangsangan emosi. Akibatnya adalah denyut jantung akan bertambah cepat dan tekanan darah meninggi, keadaan ini yang mengakibatkan penyakit mudah datang.

Subhanallah. ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’:107)

Namun amarah adalah sangat manusiawi. Apabila amarah telah datang menghampiri, maka Islam menawarkan cara-cara menghadapinya:

Membaca Ta'awwudz.
Rasulullah bersabda "Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu "A'uudzu billah mina-syaithaani-r-rajiim" "Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk" (H.R. Bukhari Muslim).

Berwudlu
Rasulullah bersabda "Kemarahan itu itu dari setan, sedangkan syetan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudlulah" (H.R. Abud Dawud).

Duduk
Dalam sebuah hadis dikatakan"Kalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah" (HR Abu Dawud).

Diam
Dalam sebuah hadis dikatakan, "Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah" (HR Ahmad).

Bersujud
Artinya shalat sunnah mininal dua rakaat. Dalam sebuah hadis dikatakan "Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud)." (HR Tirmidzi)

Dengan meneladani Rasulullah SAW, semoga kita diberi kekuatan untuk bisa mengelola energi negatif ini. Wallahualam

Oleh: Dwindria Dini

Sikap Agung Rasulullah Menghadapi Pembenci Islam

Suatu hari Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘’Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami hari yang lebih buruk dari Perang Uhud?’’ Rasulullah menjawab, ‘’Suatu hari aku pernah menemui kaum yang sangat kejam yang belum pernah aku temui, yaitu hari di mana aku menemui kaum kampung aqobah (di Thaif), ketika aku ingin menemui (untuk meminta perlindungan, sekaligus menyebarkan islam) Ibnu Abi Yalil bin Abdi Kulal (salah satu pembesar di Thaif), tetapi dia tidak memenuhi keinginanku, lalu aku pulang dalam keadaan wajahku berdarah (karena perlakuan warganya yang melempaliranya dengan batu). Ketika aku berhenti di Qarnul Tsa’alib (Miqat Qarnul Manajil), aku melihat ke atas dan awan memayungiku sehingga aku merasa teduh. Lalu, aku melihat Jibril memanggilku, seraya berkata: ‘’Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan (hinaan) kaummu dan penolakan mereka kepadamu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung terhadapmu.’’

‘’Ya Muhammad,’’ sahut malaikat penjaga gunung. ‘’Jika engkau mau supaya aku melipatkan Akhsyabain (dua gunung di Makkahm, yaitu gunung Abi Qubaisy dan gunung yang menghadapnya) ini di atas mereka, niscaya akan aku lakukan.’’ Namun, Rasulullah SAW malah berdoa (tidak ada sedikit pun keinginan untuk membalasnya). Bahkan, aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka (keturunan) yang menyembah Allah yang Esa dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun (HR Bukhari Muslim).

Dari kisah di atas, banyak pelajar yang bisa kita renungkan. Pertama, ketika cacian dan perlakuan tidak manusiawi datang menghadapi Rasulullah, maka yang dikedepankan oleh beliau bukan dengan kembali mencaci, tapi dengan menunjukkan sikap baik.

Secara tidak langsung ini adalah dakwah terhadap mereka yang membenci Islam. Terbukti akhlak baik Rasulullah dan sahabatnya telah mengantarkan Islam bisa tersebar luas dengan waktu yang singkat. Dengan ini maka umat Islam dituntut lebih memperbaiki lagi akhlaknya sehingga yang membenci tahu akan keagungan umat Islam.

Kedua, umat Islam harus senantiasa introspeksi, apakah kita pernah menjelaskan tentang Islam kepada orang-orang yang menghina Islam? Karena boleh jadi mereka membenci Islam karena belum tahu tentang hakikat Islam.

Jika belum, maka kita harus memberikan penjelasan tentang Islam dengan berbagai pendekatan. Kalau Rasulullah dahulu suka memberikan surat-surat yang ditujukan kepada para raja, maka sekarang pun kita bisa berdakwah lewat buku, dengan menerjemahkan karya-karya Islam ke dalam bahasa yang dipakai Barat. Atau bisa dengan pendekatan seni dan budaya yang lebih bisa diterima oleh mereka.

Ketiga, mungkin ini yang luput dari kita selama ini, yaitu mendoakan mereka untuk mendapatkan pintu hidayah. Rasulullah SAW tahu bahwa berdakwah saja tidak cukup. Hidayah adalah urusan Allah maka jalan terbaik untuk memintanya adalah dengan doa. Wallahu a`lam bi as-showab


Oleh: Abu Nizhan (penulis Buku Al-Quran Tematis (Mizan, 2011))

Mari Maknai Hidup

Hidup di dunia ini hanya sekali. Begitulah orang-orang sering bilang. Dunia, adalah tempat kita menyiapkan bekal untuk akhirat nanti. Tak bersiap-siap di dunia, maka ia akan rugi di akhirat. Ia takkan bisa kembali lagi ke dunia. Karena, walaupun ia berjanji tuk beramal sholeh di dunia, ia akan kembali terbuai dengan hawa nafsunya. Allah SWT berfirman, "...Seandainya mereka dikembalikan ke dunia, tentu mereka akan mengulang kembali apa yang telah dilarang mengerjakannya. Mereka itu sungguh pendusta." (QS. Al-An'aam: 28)

Hidup di dunia ini hanya sesaat. Layaknya pengembara yang beristirahat di bawah sebuah pohon. Lalu, dia akan melanjutkan perjalanannya yang jauh. Begitulah Rasulullah SAW mengibaratkan hidup ini. Tak lebih hanya seperti sebuah tempat peristirahatan.

Maka, manfaatkanlah waktu hidup kita yang sesaat ini, untuk menanam amal sholeh sebanyak-banyaknya. Agar kelak di akhirat nanti, kita bisa menuai hasil jerih payah kita itu. Isilah hidup ini dengan hal-hal yang bermanfaat.

Mungkin, terkadang kita merasa berat untuk menyusuri jalan kebenaran. Seperti mendaki tebing yang terjal. Namun, percayalah, setelah kita terbiasa untuk melakukan amal kebajikan, kita akan merasa bernafsu untuk terus menambah tabungan pahala kita. Berlari mendekat kepada Allah SWT. Tatkala kita sudah mereguk minuman cinta yang telah dihidangkan-Nya, kita akan semakin bernafsu lagi untuk mendekat dan terus mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Janganlah kita terbuai dengan tipuan-tipuan duniawi yang berserakan di muka bumi ini. Sadarlah bahwa kita tak memiliki banyak waktu untuk menjalani hidup di dunia ini. Apakah kita ingin melewati dunia ini dengan sia-sia? Tidak kan? Tentu kita ingin, dengan waktu yang diberikan Allah SWT, kita mampu meraih ridho dan surga-Nya. Bagaimana kita bisa meraih itu jika kita hanya berpangku tangan, bahkan melakukan banyak maksiat tanpa bertobat?

Raihlah cinta-Nya, niscaya kita akan mendapatkan ketenteraman dalam kehidupan. Betapa banyak orang kaya namun tidak tentram hidupnya. Itu karena mereka telah jatuh cinta kepada dunia. Sehingga ia mengisi waktunya hanya untuk menggapai dunia, bukan untuk meraih ridho-Nya. Semoga kita dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mencintai-Nya dan dicintai oleh-Nya. Wallahu a'lam bish-shawwaab.

Oleh: Muhammad Fatih

Luasnya Ampunan Allah SWT

Dalam kehidupan ini kita selaku manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Entah sudah berapa banyak kita melakukan perbuatan dosa. Jika dihitung dan dicatat perbuatan dosa kita setiap hari dalam sebulan mungkin kita akan mendapatkan catatan  dosa kita setebal kamus. Atau mungkin berjilid-jilid banyaknya. Bayangkanlah! Berapa banyak dosa yang kita perbuat selama hidup kita? Lalu bagaimana kita akan menemui Sang Pencipta dengan berlumur dosa?

Memang sudah menjadi fitrah manusia untuk berbuat kesalahan.  Hal ini telah disabdakan oleh nabi Muhammad SAW, “Setiap anak Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik pembuat dosa adalah mereka yang bertaubat”. (HR.Tirmidzi). Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, walaupun manusia berbuat dosa. Tidak lantas menjadikan manusia merugi begitu saja. Bagi mereka yang mau bertaubat itulah yang terbaik untuk mereka.

Bahkan dalam hadis lain disebutkan jika seluruh umat manusia tidak ada yang berbuat dosa. Maka Allah SWT menggantinya dengan umat yang berbuat dosa, kemudian mereka memohon ampunan dan Allah SWT mengampuninya. "Kalau kalian tidak berbuat dosa niscaya Allah SWT akan mengganti kalian dengan kaum yang lain pembuat dosa, tetapi mereka beristighfar dan Allah SWT mengampuni mereka".( HR.Muslim). Hal ini mempertegas akan fitrah manusia dalam berbuat dosa.

Ketahuilah! Murka Allah SWT itu sangat dasyat. Siksaan Allah sangat pedih. Akan tetapi kasih sayang-Nya meliputi alam semesta. Ampunan Allah SWT  sangat teramat luas bagi hambanya yang mau bertaubat. Selama dosa itu bukan menyekutukan Allah SWT maka Allah akan mengampuni dosa itu sebasar apapun dosa itu.

Anas bin Malik berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesunggunya Allah berfirman, Wahai anak Adam, apabila engkau memohon dan mengharapkan pertolongan-Ku maka Aku akan mengampunim dan Aku tidak menganggap bahawa ia suatu beban. Wahai anak Adam, sekalipun dosa kamu seperti awan meliputi langit kemudian kamu memohon ampunan-Ku, niscaya aku akan mengampuninya. Wahai anak Adam, jika kamu menemuiku dengan kesalahan sebesar bumi, kemudian kamu menemuiku tidak dalam keadaan syirik kepada-Ku dengan seuatu apapun. Niscaya aku akan datang kepadamu dengan pengampunan dosa sebesar bumi itu. (HR Tirmidzi)

Tidak sedikit ayat-ayat dalam Alquran yang menyebutkan bahwa Allah SWT Maha Penerima taubat diiringi dengan sifatnya yang Maha Penyayang. Di antaranya dalam surat An Nur ayat 24, surat At Thaqobun ayat 14 dan surat Az Zumar ayat 53. Ini menunjukan betapa besarnya kecintaan Allah SWT terhadap manusia terlebih terhadap hamba-Nya yang bertaubat. Yang menyesali kesalahnnya dan memohon ampunan kepada-Nya.

Oleh karena itu sudah seharusnya kita tidak boleh berputus asa. Ampunan dan rahmat Allah SWT sangatlah teramat besar. Bahkan Allah SWT telah memaklumi akan sifat kita selaku manusia yang suka berlebih-lebihan. Allah SWT berfirman, “Katakanlah: Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar [39] : 53).

Betapa mudahnya mendapat ampunan Allah SWT. Masihkan kita mengingkari kasih sayang Allah SWT ? Hanya orang-orang merugi yang tidak bersegera kepada ampunan Allah SWT yang sangat teramat luas. Sesungguhnya Allah SWT tidak pernah menyalahi akan janji-Nya (Q.S Ali Imran [3] : 9). Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh : Agustiar Nur Akbar (Mahasiswa di Kairo, Mesir)

Etika Bertetangga

Islam adalah ajaran yang sempurna. Islam mengajarkan dari hal terkecil hingga hal yang besar. Salah satu kesempurnaan itu bisa terlihat pada ajaranya dalam etika bertetangga. Kita sebagai mahluk sosial tidak pernah bisa lepas dari oranglain. Dalam lingkup tempat tinggal kita. Keberadaan tetangga tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita. Kita pun adalah bagian dari tetangga.

Rasulullah saw bersabda, "Tiap empat puluh rumah adalah tetangga-tetangga, yang di depan, di belakang, di sebelah kanan dan di sebelah kiri (rumahnya)." (HR Ath-Thahawi).

Dari hadis ini sudah jelas tentang siapa tetangga kita. Walau dalam hadis ini disebutkan batasan bukan berati kita tidak boleh mengenal orang yang tinggalnya lebih dari empat puluh rumah. Hadis  ini bermaksud menekankan kepada kita tentang hak-hak mereka.

Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan untuk tidak boleh kita lakukan terhadap tetangga kita. Kita tidak boleh bersikap pelit ketika tetangga kita mempergunakan sebagian dari bangunan atau halaman rumah kita. Seperti sabda Rasulullah SAW “Janganlah seorang melarang tetangganya menyandarkan kayunya (dijemur) pada dinding rumahnya”. (HR Bukhari).

Hal lain yang tidak boleh kita lakukan adalah acuh ketika tetangga kita kelaparan. Hal ini sangatlah tidak manusiawi. Bahkan Rasulullah SAW menyatakan perbuatan seperti itu bukanlah perbuatan orang yang beriman. “Tiada beriman kepadaku orang yang bermalam (tidur) dengan kenyang sementara tetangganya lapar padahal dia mengetahui hal itu”.  (Al Hadis)

Barangsiapa ingin disenangi oleh Allah SWT maka janganlah kita menganggu tetangga kita. Karena hal ini salah satu perbuatan yang disenangi Allah SWT. “Barangsiapa ingin disenangi Allah dan rasulNya hendaklah berbicara jujur, menunaikan amanah dan tidak mengganggu tetangganya”. (HR Al-Baihaqi).

Selain hal itu jika kita menjual rumah kita, maka tetangga kita lebih berhak membelinya dibandingkan dengan orang lain. “Tetangga adalah orang yang paling berhak membeli rumah tetangganya”. (HR  Bukhari dan Muslim).

Ada beberapa hak tetangga yang harus kita perhatikan. Di ntaranya ketika tetangga kita sakit kita harus mengunjunginya. Ketika tetangga kita meninggal kita harus mengantarkan jenazahnya. Bahkan jangan samapi tetangga kita menyalakan api tuk menjamu tamu yang ta’ziah. Selanjutnya jika tetangga kita mendapat kebaikan maka ia berhak mendapat ucapan selamat dari kita.

Bangunan rumah kitapun harus kita perhatikan. Jangan sampai lebih tinggi dari tetangga kita. Bukan itu saja, ketika mereka mencium aroma masakan dari rumah kita. Maka tetangga kita berhak tuk merasakan masakan kita. "Hak tetangga ialah bila dia sakit kamu kunjungi dan bila wafat kamu menghantar jenazahnya. Bila dia membutuhkan uang kamu pinjami dan bila dia mengalami kemiskinan (kesukaran) kamu tutup-tutupi (rahasiakan). Bila dia memperoleh kebaikan kamu mengucapkan selamat kepadanya dan bila dia mengalami musibah kamu datangi untuk menyampaikan rasa duka. Janganlah meninggikan bangunan rumahmu melebihi bangunan rumahnya yang dapat menutup kelancaran angin baginya dan jangan kamu mengganggunya dengan bau periuk masakan kecuali kamu menciduk sebagian untuk diberikan kepadanya”. (HR  Ath-Thabrani). Wallahu a’lam bi showab

Oleh: Agustiar Nur Akbar (Fakultas Syari'ah Wal Qonun, Universitas Al-Azhar Syarif Kairo)

Kebebasan Beragama (Ketika Rasulullah Kecewa)

Rasulullah SAW pernah mengutus Usamah bin Zaid untuk berperang ke daerah Huruqat. Ternyata penduduk di sana sudah mengetahui rencana kedatangan pasukan Islam, maka mereka pun melarikan diri. Namun Usamah menemukan seorang lelaki, dan lelaki itu langsung mengucapkan dua kalimat syahadat. Sayangnya ia tetap dipukul hingga meninggal.

Ketika hal itu diceritakan pada Nabi SAW, beliau bersabda, "Apa yang akan kau katakan (di akhirat nanti) terhadap orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadah". Usamah menjawab, "Wahai Rasulullah ia mengatakannya (bahwa ia berislam) karena takut dibunuh". Rasul menjawab, "Sudahkah kau robek dadanya hingga kau tahu untuk apa ia mengatakan hal itu, untuk menyelamatkan diri atau hal lainnya. Apa yang kau katakan (di akhirat nanti) terhadap orang yang telah mengucapkan syahadat". Beliau terus mengulanginya hingga Usamah berangan untuk tidak masuk Islam kecuali setelah hari itu (karena ketegasan Rasul dalam hal itu).

Imam Abu Daud RA menjadikan Hadis ini dalam bab alasan memerangi orang Musyrik. Hal ini menandakan bahwa siapa saja yang menampakkan keislamannya sekalipun hanya mengucapkan dua kalimat syahadat maka mereka harus diperlakukan seperti seorang Muslim dan tidak boleh mempermasalahkan keislamannya, karena manusia hanya menghukumi sesuatu yang nampak saja, adapun hal yang tak tampak maka kita harus menyerahkannya pada Allah SWT.

Kasus pemboman yang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia kembali membuat reputasi Islam semakin buruk. Islam dipandang sebagai agama teroris dan anarkis. Hal ini dikarenakan pemahaman yang kurang tepat terhadap nash agama. Termasuk dalam memahami sumber kedua Islam, hadis.

Hadis lain yang juga sering salah dipahami diriwayatkan oleh Imam Bukhari RA dan Imam Muslim RA dari Sahabat Abdullah bin Umar RA: "Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan membayar zakat, lalu apabila mereka telah melaksanakan itu terjagalah darah dan harta mereka."

Dalam memahami hadis ini ada beberapa poin yang harus diperhatikan. Pertama, Hadis di atas menggunakan kata Uqâtil bukan kata Aqtul. Terdapat perbedaan yang sangat jauh ketika kita tidak bisa membedakan maksud kedua kata tersebut. Kata Uqâtil dalam bahasa Arab berarti mencurahkan seluruh kemampuan untuk mencegah musuh yang menyakiti kita, adapun kata Aqtul berarti membinasakan musuh (membunuh).

Kedua, kata an-nâas pada Hadis di atas bukan berarti seluruh manusia secara umum. Hal ini bisa dipahami kalau kita membandingkan dengan Hadis yang lain (Muqaronatul Al-Ahâdis), seperti yang diriwayatkan Imam Nasa'i dalam  kitab Sunannya: "Allah memerintahkanku (Rasul) untuk memerangi orang Musyrik yang mengharamkan kebebasan beragama, memerintahkanku untuk memerangi mereka hingga agama Islam dapat tersebar luas dan tak ada seorangpun yang menghalangi orang lain (dalam memeluk agama), lalu setelah itu setiap manusia dapat menentukan pilihan agamanya masing-masing".

Dari sini jelas bahwa perintah perang hanya untuk orang kafir, itupun jikalau mereka membatasi kebebasan beragama. Mudah-mudahan kedua hadis di atas dapat membuka cara berfikir kita untuk lebih memahami Islam sebagai agama yang menjadi rahmat untuk seluruh alam. Allahu wa Rasuluhu 'alam.

Oleh: Faza Abdu Robbih (Mahasiswa Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar, Kairo)

Pentingnya Doa

Secara fitrah, dalam setiap diri individu manusia, pasti tertanam rasa ingin menjadi yang lebih baik dan sempurna. Oleh karena itu, Allah SWT senantiasa menyediakan beragam jalan bagi hamba-Nya agar mereka mau berusaha dan semakin dekat kepada-Nya.

Islam secara tegas mengajarkan bahwa segala hasil yang diraih oleh manusia adalah sesuai dengan usaha dan jerih payahnya. Manusia yang selalu berusaha (bekerja) dengan sungguh-sunguh karena Allah SWT pasti akan menuai hasil usahanya itu. "Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, kamu pasti akan menemuinya," (QS al-Insyiqaq [84]: 6).

Doa menjadi bagian penting dalam setiap usaha manusia. Berdoa berarti mengetahui bahwa Allahlah yang menentukan segala usahanya. Doa bisa diartikan sebagai satu permohonan dan pujian dalam bentuk ucapan dari hamba yang rendah kedudukannya pada Rabb Yang Mahatinggi. Orang yang tidak mau berdoa kepada Allah bisa dikatakan orang yang takabur (sombong) karena tidak menempatkan Allah sebagai penentu segalanya (QS al-Mu'min [40]: 60). Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT sangat murka kepada orang yang tidak mau berdoa kepada-Nya," (HR Ibnu Majah).

Sejatinya, tujuan berdoa adalah meningkatkan kedekatan diri kepada Allah SWT sekaligus untuk memperbaiki diri. Ibn Atha'illah dalam kitabnya Al-Hikam menjelaskan, "Bagaimana engkau menginginkan sesuatu yang luar biasa, padahal engkau sendiri tak mengubah dirimu dari kebiasaanmu? Kita banyak meminta dan berharap pada Allah, tetapi sibuknya meminta kadang membuat kita tak sempat menilai diri sendiri. Padahal, kalau kita meminta (doa) sembari berusaha untuk mengubah diri (ikhtiar), Allah akan memberikan apa yang kita minta karena doa itu hakikatnya adalah pengiring agar kita bisa mengubah diri kita."

Manfaat doa begitu besar dalam kehidupan manusia. Dengan doa, kedamaian dapat diraih, semangat hidup dapat ditingkatkan, dan emosi dapat dikendalikan. Dengan doa, ada harapan yang terbentang. Doa juga menjadi penyejuk pada saat menghadapi musibah. Doa adalah tempat kembalinya manusia setelah seharian melakukan usaha (ikhtiar).

Walaupun tak terlihat hasilnya, doa harus terus dipanjatkan karena di balik doa tersimpan rahasia Allah yang amat mengagumkan. Ada cerita menarik di zaman Nabi SAW. Suatu hari, seorang ibu ditanya anaknya yang sedang sakit, "Mengapa doa ibu tidak dikabulkan?" Sang ibu kemudian menjawab, "Barangkali Allah ingin memberi pahala lebih banyak kepadamu karena orang yang sedang dicoba Allah dengan penyakit berat, ia bersabar dan berdoa kepada Allah, akan diberinya pahala, atau dosamu diampuni-Nya. Bacalah doa yang masih kau hafal, ayat singkat, atau mohon dengan bahasamu sendiri."

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah) bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku," (QS Al-Baqarah 186). Wallahu a'lam.

Oleh: Ali Rif'an

Bekerjalah Seperti Kura-kura

”Bekerjalah seperti kura-kura dan tidak seperti kelinci”,  demikian satu dari 14 prinsip-prinsip inti ”The Toyota Way”.

Mula-mula agak sulit memahami, apa hubungannya kura-kura dan kelinci dengan Toyota Production System (TPS) yang telah berhasil menghantar Toyota menjadi sebuah perusahaan manufaktur otomotif papan atas, baik dari sisi bisnis maupun kualitas.

Saat mencoba mencerna penjelasannya, ingatan saya kembali pada sebuah buku cerita kanak-kanak bergambar.  Isinya sangat sederhana, kisah adu lari antara kelinci dan kura-kura.  Yang membuat buku itu menarik, sekaligus ’bernilai’ adalah karena sang pemenang adalah kura-kura, bukan kelinci sebagaimana wajarnya.

Di dalam bukunya, Taichi Ohno, salah seorang kontributor cetak biru atau ”DNA” dari the Toyota Way menjelaskan:  ”Kura-kura yang lamban tetapi konsisten mengakibatkan lebih sedikit pemborosan dan jauh lebih diinginkan daripada kelinci yang cepat dan mengungguli perlombaan dan kemudian berhenti setelah selang beberapa waktu untuk beristirahat.  Toyota Production System hanya dapat direalisasikan jika semua karyawan menjadi kura-kura”.

Pemimpin-pemimpin Toyota lainnya sering pula mengungkapkan hal yang sama, yang isinya kira-kira adalah  ”Kami lebih suka lambat dan mantap seperti kura-kura daripada cepat dan tersentak-sentak seperti kelinci”.  Demikianlah salah satu filosofi di balik TPS yang kebanyakan berjangkauan jauh ke depan.  Meratakan beban kerja (heijunka) adalah salah satu cara untuk menghindari pemborosan (muda), ketidakseimbangan (mura), dan beban berlebih (muri).

Bagi umat Islam, filosofi di atas bukanlah hal yang terlalu baru.  Di dalam pandangan Islam, setiap peristiwa atau kejadian bukanlah suatu momentum diskrit tanpa konteks, tetapi adalah bagian dari sebuah kesinambungan hidup dan kehidupan, penghubung masa lalu dan masa depan.  Oleh karena itu, hanya orang-orang cerdas (ulil albab) -lah yang dapat memaknai setiap peristiwa dan mengambil pelajaran darinya untuk terus menerus melakukan perbaikan atau peningkatan (continuous improvement = kaizen).

Di dalam beramal (bekerja atau beribadah dalam arti luas), Rasulullah SAW berabad-abad lalu pernah mengajarkan, ”Amal yang paling disukai oleh Allah adalah amal yang dikerjakan terus menerus walaupun sedikit (HR Muttafaqun Alaih)”.  Karena lebih sering mendengarnya dari para kiai, ustadz atau guru agama, maka pikiran kita cenderung membatasinya.  Padahal ada hikmah lain dari sabda Rasul SAW (yang pasti berasal dari wahyu, bukan hawa nafsunya).   Satu di antaranya ditemukan oleh para pendiri dan pemimpin Toyota, yang mungkin belum pernah mengenal Rasulullah SAW apalagi berjumpa dengannya. Wallahu’a’lam

Oleh: Abi Muhammad Ismail Halim

Kekuatan Iman

Keimanan merupakan kekuatan yang mampu menyangga dan menyelamatkan hidup seorang hamba. Keimanan pulalah yang bisa mengantarkan seseorang berbenam kebaikan, perbaikan, dan kesuksesan. Kekuatan sebuah bangsa pun ternyata karena keimanan penduduknya.

Jika dalam pandangan mata kepala atau mata pikiran, kita terlampau percaya bahwa kekuatan terdahsyat saat ini adalah persenjataan supercanggih bernama rudal dan nuklir, dalam pandangan mata hati, kekuatan terbesar itu tidak lain adalah kekuatan iman. Yakni beriman kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya iman.

Rudal dan bom nuklir boleh jadi menjadi ukuran kekuatan sebuah negara. Negara dengan kepemilikan keduanya akan menjadi negara yang disegani. Namun sekali lagi, hakikat kekuatan bukan nuklir, melainkan keimanan. Karena keimanan adalah kekuatan yang didukung oleh Yang Mahakuat, Allah SWT.

Israel memiliki senjata nuklir. Namun, negara Yahudi itu tidak mampu menghadapi kekuatan iman para pejuang Palestina. Israel kesulitan mencari cara menghadapi aksi-aksi bom syahid ('amaliyah istisyhadiyah). Alhasil, senjata nuklir menjadi tidak ada artinya di hadapan kekuatan iman kaum Muslim Palestina.

Dengan kekuatan iman, umat Islam Indonesia mampu mengusir tentara penjajah Belanda. Pekikan takbir yang digemakan Bung Tomo tahun 1945, mampu menangkis serangan besar-besaran penjajah Belanda. Terbuktilah sudah bahwa kekuatan iman menghadirkan pertolongan Allah SWT yang tidak mampu dicegah oleh siapa pun dan oleh kekuatan apa pun.

Maka itu, perkuat persenjataan iman kita, di antaranya dengan sering hadir di majelis-majelis taklim dan zikir, mentadaburi Alquran, qiyamul lail, menjaga shalat berjamaah, dan jalinlah silaturahim serta ukhuwah.

Yakinlah, kekuatan iman mendorong seseorang mampu membaca situasi dengan benar. Kekuatan iman membuat pemiliknya mampu membaca tipu-daya musuh-musuh Allah terhadap umat Islam. Kekuatan iman pula yang menjadikan sesesorang tidak takut kepada siapa pun dan apa pun selain Allah SWT.

Kekuatan iman akan mendorong sesorang menjadi tabah, ikhlas, dan sabar dalam menghadapi musibah. Nabi Ayub dengan sakit "aneh" yang luar biasa, kekayaan yang ludes, istri yang meninggalkannya serta anak-anak yang diwafatkan, belum penghinaan dan pencibiran umat, tetap sabar karena kekuatan iman di hatinya. Bilal bin Abi Rabbah dengan lisan "Ahad!", dihimpit batu besar yang panas di tengah teriknya matahari, akhirnya menuai kebebasan dan kemuliaan; karena kekuatan iman yang bersemayam kuat di hatinya.

Sekali lagi, kekuatan iman akan membangkitkan selera taat, mengobarkan semangat jihad, sekaligus tetap bersyukur saat dipenuhi nikmat, terjaga tangannya untuk terus berinfak, dan istikamah berbuat sesuatu untuk syiar dan tegaknya kalimat tauhid.

"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya…" (QS Ibrahim [14]: 24-25). Wallahu a'lam.

Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Hikmah Isra' Mikraj

Dalam sejarahnya, dakwah Rasulullah tak pernah sepi dari gangguan kafir Quraisy. Di tengah tantangan dakwah itu, kesedihan yang tak terperikan dihadapi Rasulullah, yakni wafatnya dua orang paling disegani dan dikasihi Nabi SAW, yakni sang paman Abu Thalib, dan istri tercinta Khadijah. Dengan totalitas yang tak diragukan lagi, keduanya adalah pendukung setia dakwah Rasulullah. Wafatnya kedua pendukung utama ini, merupakan ujian besar bagi perjuangan Rasul SAW.

Dalam situasi seperti itu, Allah SWT "menghibur" Rasulullah dengan memperjalankannya ke langit melalui peristiwa Isra dan Mikraj, dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Kemudian, dilanjutkan dengan perjalanan (Mikraj) ke Sidratul Muntaha (tempat tiada berbatas), Arasy (takhta Allah), hingga menerima wahyu secara langsung dari Allah SWT tanpa perantaraan Jibril, yakni perintah shalat. Peristiwa itu terjadi pada 27 Rajab, setahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah.

"Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Isra [17]: 1).
Isra Mikraj bukanlah sekadar perjalanan 'hiburan' bagi Rasul. Isra Mikraj adalah perjalanan bersejarah yang menjadi titik balik kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam buku In the Footsteps of Muhammad:

Understanding the Islamic Experience, seperti dikutip Azyumardi Azra, mengungkapkan bahwa Isra Mikraj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasul SAW, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. "Isra Mikraj benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh dunia gaib."

Bila hijrah dari Makkah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, dan Haji Wada menandai penguasaan umat Islam atas kota suci Makkah, maka Isra Mikraj menjadi puncak perjalanan rohani seorang hamba menuju al-Khalik dalam menyempurnakan keimanannya (insan kamil).

Seyyed Hussein Nasr dalam buku Muhammad Kekasih Allah (1993) mengungkapkan, pengalaman rohani yang dialami Rasulullah saat Mikraj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat. "Shalat adalah mikrajnya orang-orang beriman," demikian ungkapan sebuah hadis.

Dari peristiwa agung di atas, dapat kita tarik beberapa pelajaran. Pertama, adanya penderitaan dalam perjuangan yang harus dihadapi dengan kesabaran. Kedua, kesabaran akan berbuah balasan dari Allah berupa perjalanan Isra Mikraj dan perintah shalat. Ketiga, shalat menjadi senjata bagi Rasul SAW dan kaum Muslimin untuk bangkit dan merebut kemenangan. Ketaatan menjalankan shalat akan membuahkan masyarakat yang damai, bersih, dan jauh dari tindak korupsi.

Ketiga hal ini terangkum sangat indah dalam Alquran. "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya."
Oleh Hery Sucipto

Dalam sejarahnya, dakwah Rasulullah tak pernah sepi dari gangguan kafir Quraisy. Di tengah tantangan dakwah itu, kesedihan yang tak terperikan dihadapi Rasulullah, yakni wafatnya dua orang paling disegani dan dikasihi Nabi SAW, yakni sang paman Abu Thalib, dan istri tercinta Khadijah. Dengan totalitas yang tak diragukan lagi, keduanya adalah pendukung setia dakwah Rasulullah. Wafatnya kedua pendukung utama ini, merupakan ujian besar bagi perjuangan Rasul SAW.

Dalam situasi seperti itu, Allah SWT "menghibur" Rasulullah dengan memperjalankannya ke langit melalui peristiwa Isra dan Mikraj, dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Kemudian, dilanjutkan dengan perjalanan (Mikraj) ke Sidratul Muntaha (tempat tiada berbatas), Arasy (takhta Allah), hingga menerima wahyu secara langsung dari Allah SWT tanpa perantaraan Jibril, yakni perintah shalat. Peristiwa itu terjadi pada 27 Rajab, setahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah.

"Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Isra [17]: 1).
Isra Mikraj bukanlah sekadar perjalanan 'hiburan' bagi Rasul. Isra Mikraj adalah perjalanan bersejarah yang menjadi titik balik kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam buku In the Footsteps of Muhammad:

Understanding the Islamic Experience, seperti dikutip Azyumardi Azra, mengungkapkan bahwa Isra Mikraj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasul SAW, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. "Isra Mikraj benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh dunia gaib."

Bila hijrah dari Makkah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, dan Haji Wada menandai penguasaan umat Islam atas kota suci Makkah, maka Isra Mikraj menjadi puncak perjalanan rohani seorang hamba menuju al-Khalik dalam menyempurnakan keimanannya (insan kamil).

Seyyed Hussein Nasr dalam buku Muhammad Kekasih Allah (1993) mengungkapkan, pengalaman rohani yang dialami Rasulullah saat Mikraj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat. "Shalat adalah mikrajnya orang-orang beriman," demikian ungkapan sebuah hadis.

Dari peristiwa agung di atas, dapat kita tarik beberapa pelajaran. Pertama, adanya penderitaan dalam perjuangan yang harus dihadapi dengan kesabaran. Kedua, kesabaran akan berbuah balasan dari Allah berupa perjalanan Isra Mikraj dan perintah shalat. Ketiga, shalat menjadi senjata bagi Rasul SAW dan kaum Muslimin untuk bangkit dan merebut kemenangan. Ketaatan menjalankan shalat akan membuahkan masyarakat yang damai, bersih, dan jauh dari tindak korupsi.

Ketiga hal ini terangkum sangat indah dalam Alquran. "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya."

Oleh: Hery Sucipto

Setan Pun Menyuruh Beribadah

Sahabat Abu Hurairah RA pernah diamanati Nabi SAW untuk menjaga gandum hasil zakat. Tiba-tiba di malam hari, ada lelaki yang mencuri gandum itu. Ia lalu ditangkap oleh Abu Hurairah RA. "Kamu akan kubawa kepada Nabi SAW," kata Abu Hurairah kepada pencuri itu. Namun, pencuri itu memelas. Dengan bujuk rayunya, dia mengatakan, sudah seminggu anak dan istrinya belum makan. Abu Hurairah akhirnya melepaskan pencuri itu, dan memintanya agar tidak mencuri lagi.

Esoknya sehabis shalat Subuh, sebelum sempat melapor, Abu Hurairah justru ditanya oleh Nabi SAW. "Apa yang kamu lakukan terhadap orang yang kamu tangkap tadi malam?" Abu Hurairah kemudian menjelaskan apa yang terjadi. "Ingat, nanti malam ia akan datang lagi," kata Nabi SAW. Benar, malam kedua pencuri tadi datang lagi. Dan, setelah mengambil gandum, ia ditangkap oleh Abu Hurairah. Ia juga memelas lagi dan Abu Hurairah pun tidak tahan sehingga pencuri itu dilepaskan lagi.

Esoknya, Nabi SAW bertanya lagi kepada Abu Hurairah, seperti kemarin. Abu Hurairah juga menjawab seperti itu. Nabi SAW mengingatkan lagi, pencuri itu nanti malam akan datang lagi. Dalam hati, Abu Hurairah RA berkata, "Nanti malam, dia tidak akan aku lepaskan lagi." Benar saja, pencuri itu datang untuk yang ketiga kalinya dan kembali mencuri gandum. Abu Hurairah kembali menangkapnya. "Sekarang, tidak mungkin aku lepaskan kamu. Kamu harus saya bawa kepada Nabi SAW."

Pencuri tadi sangat cerdik. Kepada Abu Hurairah, ia mengatakan, "Saya siap dibawa kepada Nabi SAW, tapi bolehkah saya berbicara, wahai Abu Hurairah?" Abu Hurairah berkata, "Silakan, mau bicara apa?" Si pencuri tadi berucap, "Wahai Abu Hurairah, maukah kamu saya beri wiridan?" "Tentu mau, wiridan apakah itu?" jawab Abu Hurairah penasaran. Memang, para sahabat senang dengan wiridan dan bacaan. Pencuri itu berkata, "Bacalah ayat kursi sebelum kamu tidur, Allah akan menjaga kamu dari godaan setan."

Mendengar kata-kata pencuri itu, Abu Hurairah terkesima, "Rupanya pencuri ini seorang ustaz." Akhirnya tanpa basa-basi lagi, Abu Hurairah melepaskan pencuri itu. Esoknya, Nabi SAW bertanya seperti pertanyaan yang kemarin. Abu Hurairah pun menjawab, "Pencuri tadi malam itu memberi wiridan kepada saya. Saya disuruh membaca ayat kursi sebelum tidur malam. Insya Allah, Allah akan menjaga saya dari gangguan setan," jawab Abu Hurairah. Nabi SAW berkata, "Apa yang dia katakan itu adalah benar, tetapi dia itu bohong." "Tahukah kamu, wahai Abu Hurairah, siapa pencuri itu? Dia adalah setan," kata Rasulullah SAW.

Kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari itu memberikan pelajaran bagi kita. Pertama, setan dari jenis jin dapat menjelma menjadi manusia. Kedua, setan dapat menyuruh manusia untuk beribadah, membaca Alquran, shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Abu Hurairah telah diluruskan oleh Nabi SAW sehingga ia tidak membaca ayat kursi karena mengikuti perintah setan, tetapi mengikuti perintah Nabi SAW. Sekiranya seseorang menjalankan ibadah tetapi dia mengikuti perintah setan dan bukan perintah Allah, maka dia telah beribadah kepada setan. Wallahu a'lam.

Oleh: Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub

Abu Hurairah Ad-Dausi, Sang Penghapal Hadits

Abu Hurairah Ad-Dausi, hampir semua kaum Muslimin pasti mengenal sahabat Nabi yang satu ini. Ia mempunyai bakat yang luar biasa dalam hal kemampuan dan kekuatan ingatan, ia mempunyai kelebihan dalam seni menangkap apa yang didengarnya. Sedangkan daya ingatnya mempunyai keistimewaan dalam menghafal dan menyimpan.

Hampir tak pernah ia melupakan satu kata atau satu huruf pun dari semua yang pernah didengarnya. Ia telah mewakafkan hampir seluruh hidupnya untuk lebih banyak mendampingi Rasulullah saw, sehingga ia termasuk salah seorang sahabat yang paling banyak menerima dan menghapal hadis, serta meriwayatkannya.

Pada zaman Jahiliyah, orang memanggilnya Abu Syams. Ketika hendak memeluk Islam, Rasulullah bertanya kepadanya, "Siapa namamu?"

"Abdu Syams," jawabnya singkat.

"Bukannya Abdurrahman (Hamba Allah)?" tanya Rasulullah.

"Demi Allah, benar. Abdurrahman, ya Rasulullah," jawab Abu Hurairah setuju.

Diberi gelar Abu Hurairah, karena waktu kecil dia mempunyai seekor anak kucing betina dan selalu bermain-main dengannya. Maka gelar masa kecilnya lebih populer daripada nama aslinya. Setelah Rasulullah mengetahui gelar dan asal-usul namanya, maka beliau selalu memanggilnya "Abu Hirr" sebagai panggilan akrab. Dan Abu Hurairah lebih terkesan dengan panggilan "Abu Hirr" daripada "Abu Hurairah".

Abu Hurairah masuk Islam dengan perantaraan Thufail bin Amr Ad-Dausi. Islam masuk ke negeri Daus kira-kira awal tahun ke-7 Hijriyah, yaitu ketika dia menjadi utusan kaumnya menemui Rasulullah SAW di Madinah.

Setelah bertemu Rasulullah, pemuda Daus ini memutuskan untuk berkhidmat (menjadi pelayan) Nabi dan menemani beliau. Oleh karena itu, ia tinggal di masjid, di mana Rasulullah mengajar dan menjadi imam. Selama Rasulullah hidup, Abu Hurairah tidak menikah dan belum punya anak.

Namun ia mempunyai ibu yang sudah lanjut usia, dan masih tetap musyrik. Abu Hurairah tidak berhenti mengajak ibunya masuk Islam, karena dia sangat menyayanginya dan ingin berbakti. Tetapi ibunya malah menjauh dan menolak ajakannya. Ia pun meninggalkan ibunya dengan perasaan kacau dan hati yang terkoyak.

Dia pernah mengajak ibunya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, namun sang ibu menolak sambil mencela Rasulullah dengan kata-kata yang menyedihkan dan menyakitkan hati. Ia pun pergi menemui Nabi SAW.

"Mengapa kau menangis, wahai Abu Hurairah?" tanya Rasulullah.

"Aku tidak bosan-bosannya mengajak ibuku masuk Islam. Tetapi ia selalu menolak. Hari ini ia kuajak masuk Islam, tapi ia malah mengucapkan kata-kata yang tidak pantas mengenai dirimu, wahai Rasulullah, yang tak sudi kudengar. Tolonglah doakan, ya Rasulullah, semoga ibuku tergugah masuk Islam," katanya.

Rasulullah pun mendoakan semoga hati ibu Abu Hurairah terbuka untuk masuk Islam. Pada suatu hari, ketika pulang ke rumahnya, Abu Hurairah mendapati pintu dalam keadaan tertutup. Di dalam terdengar bunyi gemercik air. Tatkala hendak masuk ke dalam, terdengar suara ibunya, "Tunggu di tempat!"

Agaknya sang ibu tengah berpakaian. Tak lama kemudian. "Masuklah!" kata ibunya. Begitu masuk ke dalam, ibunya berkata, "Aku bersaki bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya."

Abu Hurairah kembali kepada Rasulullah sambil menangis gembira, sebagaimana sebelumnya ia menangis karena sedih. "Bergembiralah wahai Rasulullah, Allah mengabulkan doa anda. Ibuku telah masuk Islam," ujarnya.

Abu Hurairah mencintai Rasulullah hingga mendarah daging. Dia tak pernah bosan memandang wajah beliau. "Bagiku tidak ada yang lebih indah dan cemerlang selain wajah Rasulullah SAW. Dalam penglihatanku, seolah-olah matahari sedang memancar di wajah beliau," katanya suatu ketika.

Sebagaimana besar cintanya kepada Rasulullah SAW, maka begitu pula besar cintanya kepada ilmu. Sehingga ilmu menjadi kegiatan dan puncak cita-citanya.

Ketika kaum Muslimin memperoleh kesejahteraan dari limpahan rampasan perang. Abu Hurairah mendapat bagian, berupa sebuah rumah dan harta. Walaupun begitu, semua kenikmatan yang diperolehnya tidak sedikit pun merubah kepribadiannya yang mulia. Dia tidak pernah melupakan masa lalunya.

Dia kerap bercerita, "Aku dibesarkan ibuku dalam keadaan yatim. Kemudian aku hijrah dalam keadaan miskin. Aku pernah mengambil upah di perkebunan Binti Ghazwan, hanya untuk mendapatkan sesuap makanan. Aku juga pernah menjadi pelayan (khadam), menurunkan dan menaikkan keluarga itu dari dan ke atas kendaraannya. Kemudian aku dinikahkan Allah dengan anak perempuan mereka."

Abu Hurairah pernah menjadi Walikota Madinah lebih dari satu kali. Dia diangkat menjadi walikota oleh Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan. Kelembutan dan keluwesan pemerintahannya tidak ada yang menandingi.

Dalam pribadi Abu Hurairah terkumpul kekayaan akan ilmu, ketakwaan dan kewara'an. Siang hari dia puasa, malam dia beribadah. Kemudian dibangunkannya istrinya. Istrinya beribadah sepertiga malam, setelah itu membangunkan anak perempuannya. Maka anak gadis itu beribadah juga sepertiga malam terakhir. Karena itu dalam rumah tanggal Abu Hurairah tidak putus-putusnya orang beribadah sepanjang malam.

Sepanjang hidupnya, Abu Hurairah senantiasa bersikap dan berbuat baik terhadap ibunya. Bila dia keluar rumah, dia berdiri lebih dahulu di muka pintu kamar ibunya, untuk mengucapkan salam. Ia juga giat mengajak orang bersikap dan berbuat baik terhadap orang tua mereka, serta menyayangi mereka.

Ketika Abu Hurairah sakit dan akan meninggal dunia, dia menangis. Orang-orang bertanya padanya, "Mengapa anda menangis, wahai Abu Hurairah?"

Ia menjawab, "Aku menangis bukan karena sedih berpisah dengan dunia ini, bukan! Aku menangis karena perjalanan masih jauh, sedangkan perbekalanku hanya sedikit. Aku telah berada di ujung jalan yang akan membawaku ke surga atau neraka. Sedangkan aku tidak tahu di jalan mana aku berada."

Marwan bin Hakam datang berkunjung menengoknya. Kata Marwan, "Semoga Allah segera menyembuhkanmu, wahai Abu Hurairah!"

Mendengar doa Marwan tersebut, Abu Hurairah justru berdoa sebaliknya. "Ya Allah, aku sudah rindu bertemu dengan-Mu. Semoga Engkau juga begitu terhadapku. Segerakanlah bagiku pertemuan itu!"

Tidak lama setelah Marwan tiba di rumahnya, Abu Hurairah meninggal dunia dengan tenang. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. Ia telah menghapal tidak kurang dari 1.609 hadits Rasulullah SAW untuk kaum Muslimin.

Sumber: 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

Abu Lubabah bin Abdul Mundzir, Lambang Pertaubatan

Abu Lubabah termasuk salah seorang Muslim pilihan yang telah membela dan menegakkan agama Islam. Dia adalah salah seorang pahlawan Muslimin dalam peperangan, yang telah mempersembahkan diri dan nyawanya di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran dan meninggikan agama-Nya.

Dia dilahirkan di Yatsrib (Madinah) yang subur dan banyak terdapat mata air, yang ditumbuhi pepohonan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat dinikmati hewan dan manusia. Memang tiap daerah memiliki pengaruh kuat terhadap sepak terjang seseorang dan arah pemikirannya. Begitu juga dengan penduduk kota Madinah. Mereka pada umumnya dikenal memiliki akhlak yang luhur, pemaaf, berperasaan halus, dan suka berbuat baik pada sesamanya.

Abu Lubabah termasuk laki-laki seperti itu yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an, "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung." (QS Al-Hasyr: 9)

Istrinya adalah Khansa binti Khandam Al-Anshariyah dari golongan Aus. Pernikahan keduanya mendapat karunia seorang anak perempuan bernama Lubabah. Demikianlah, Abu Lubabah mendapatkan panggilannya. Abu Lubabah termasuk orang pertama yang masuk Islam, ketika beberapa orang Anshar berjumpa dengan Mush'ab bin Umair di Madinah. Ia juga salah seorang Anshar yang menghadiri Baiat Aqabah Kedua.

Abu Lubabah kemudian kembali ke Madinah setelah pertemuannya dengan Rasulullah SAW. Ia merasa kagum sekali atas kepribadian dan keluhuran budi pekerti beliau. Tak lama setelah itu Rasulullah SAW telah berada di tengah-tengah kaum Muslimin di Madinah, menyusun syariat dan menetapkan undang-undang yang dibawa oleh Jibril dari Tuhannya.

Tak lama setelah itu, pecahlah Perang Badar antara kaum musyrikin dan kaum Muslimin. Begitu Abu Lubabah mengetahui Rasulullah tengah mempersiapkan diri menyambut peperangan, ia pun bersiap-siap dan menemui Rasulullah dengan senjata di tangannya.

Akan tetap Rasulullah tidak mengizinkan Abu Lubabah ikut dalam perang. Ia diamanahkan mewakili beliau menjaga kota Madinah. Penjagaan keamanan dan ketertiban kota itu tidak kurang pentingnya dengan perang di medan laga. Abu Lubabah diberi tanggungjawab memelihara keamanan dan keselamatan penduduk kota Madinah. Ia juga diberi amanah menjaga keamanan dan keselamatan pepohanan dan buah-buahan, memenuhi kebutuhan warga yang kelaparan dan semua kebutuhan lain, sampai pasukan Islam kembali dari medan laga.

Abu Lubabah mematuhi perintah dan tugas dari Rasulullah dengan baik. Ia memimpin kota Madinah dan mempersiapkan bekal yang mungkin dibutuhkan oleh pasukan yang sedang berperang, dan menggalakkan pembuatan senjata perang siang dan malam, sehingga pasukan Muslimin memiliki persenjataan dan perbekalan yang lengkap.

Dalam penyerbuan Rasulullah SAW ke perbentengan Yahudi Bani Quraizhah, Abu Lubabah ikut bersama beliau, dan pemimpin pemerintahan di Madinah diserahkan kepada Abdullah ibnu Ummi Maktum. Rasulullah bersama para sahabatnya mengepung benteng Bani Quraizhah selama 25 malam, sehingga mereka hidup dalam kekurangan dan ketakutan.

Mereka kemudian mengirim seorang utusan kepada Rasulullah, meminta Abu Lubabah bin Mundzir dikirimkan kepada mereka untuk dimintakan pendapatnya. Rasulullah memerintahkan Abu Lubabah pergi menemui mereka.

Sebelumnya, Rasulullah meminta pendapat mereka agar yang akan memberikan keputusan adalah Sa'ad bin Mu'adz. Begitu anak-anak dan istri-istri mereka melihat Abu Lubabah datang, mereka menangis meraung-raung, memohon belas kasihannya. Sudah tentu, Abu Lubabah sebagai manusia tidak bisa menyembunyikan rasa iba dan harunya kepada mereka.

"Kami sudah mengatakan bahwa penduduk Madinah pada umumnya berhati lembut dan berjiwa pemaaf. Kasih sayangnya kepada sesamanya sangat besar," kata mereka.

Tentu saja Abu Lubabah, sebagai manusia, terpengaruh dengan ucapan ini. Mereka bertanya, "Wahai Abu Lubabah, bagaimana pendapatmu, apakah kami akan tunduk kepada putusan Sa'ad bin Mu'adz?"

Abu Lubabah lalu mengisyaratkan kepada mereka dengan tangannya yang diletakkan ke lehernya, bahwa mereka akan disembelih. Maka ia menyuruh mereka agar tidak mau menerima.

Abu Lubabah menyadari kesalahannya. "Demi Allah, kedua kakiku belum beranjak dari tempatku melainkan telah mengetahui bahwa aku telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya."

Ia kemudian pergi ke masjid dan mengikatkan tubuhnya pada salah satu tiang. "Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum hingga mati atau Allah mengampuni dosaku itu," ujarnya lirih.

Tujuh hari lamanya ia tidak makan dan minum sehingga tak sadarkan diri, kemudian Allah mengampuninya. Lalu ada yang menyampaikan berita itu kepadanya, "Wahai Abu Lubabah, Allah telah mengampuni dosamu."

Ia berkata, "Tidak. Aku tidak akan membuka ikatanku sebelum Rasulullah datang membukanya."

Tak lama setelah itu, Rasulullah pun datang membukanya. Abu Lubabah berkata kepada beliau, "Kiranya akan sempurna taubatku, kalau aku meninggalkan kampung halaman kaumku, tempatku melakukan dosa. Dan aku akan menyumbangkan seluruh hartaku."

Rasulullah SAW menjawab, "Kau hanya dibenarkan menyumbang sepertiganya saja."

Begitulah. Abu Lubabah mendapat ampunan, baik dari Rasulullah SAW maupun dari Allah SWT. Dia pun aktif bersama kaum Muslimin lainnya dalam berbagai peperangan.

Dalam penaklukan kota Makkah, ia memegang panji Bani Amru bin Auf, dan ia menyaksikan masuknya orang-orang secara berbondong-bondong ke dalam agama Islam. Abu Lubabah wafat pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.


Sumber: 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

Abu Musa Al-Asy'ari, Hakim Umat Muhammad

Tatkala Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur, Abu Musa Al-Asy'ari mengumpulkan para penduduk, dan berpidato di hadapan mereka. "Sesungguhnya Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab telah mengirimku kepada kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada kalian kitab Allah dan Sunnah Nabi kalian, serta membersihkan jalan hidup kalian!"

Orang-orang heran dan bertanya-tanya. Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang agama, yang memang kewajiban gubernur dan panglima. Tetapi bahwa tugas gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka, hal ini memang amat mengherankan dan menjadi suatu tanda tanya.

Siapakah kiranya gubernur ini, yang mengenai dirinya Hasan Al-Bashri pernah berkata, "Tak seorang pengendara pun yang datang ke Bashrah yang lebih berjasa kepada penduduknya selain dia!"

Ia adalah Abdullah bin Qeis dengan gelar Abu Musa Al-Asy'ari. Ia segera meninggalkan negeri dan kampung halamannya, Yaman, menuju Makkah setelah mendengar munculnya seorang Rasul yang menyerukan tauhid. Dan menyerukan ibadah kepada Allah berdasarkan penalaran dan pengertian, serta menyuruh berakhlak mulia.

Di Makkah, waktunya dihabiskan untuk duduk di hadapan Rasulullah, menerima petunjuk dan keimanan darinya. Lalu pulanglah ia ke negerinya membawa kalimat Allah. Ia baru kembali kepada Rasulullah SAW tidak lama setelah selesainya pembebasan Khaibar.

Kali ini, Abu Musa tidak datang seorang diri, tetapi membawa lebih dari 50 orang laki-laki penduduk Yaman yang telah diajarinya tentang agama Allah, serta dua orang saudara kandungnya; Abu Ruhum dan Abu Burdah.

Rasulullah bahkan memberi nama kaum mereka dengan sebutan golongan "Asy'ari", serta dilukiskannya bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya di antara sesama. Mereka sering diambil sebagai tamsil perbandingan bagi para sahabat.

Rasulullah bersabda, "Orang-orang Asy'ari ini bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka bagi rata. Mereka termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka."

Mulai saat itu, Abu Musa pun menempati kedudukan yang tinggi di kalangan kaum Muslimin. Ia ditakdirkan menjadi sahabat Rasulullah dan muridnya, serta menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia.

Abu Musa merupakan gabungan yang istimewa dari sifat-sifat utama. Ia seorang prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh bila berada di medan perang. Namun ia juga seorang pahlawan perdamaian, peramah, dan tenang. Keramahan dan ketenangannya mencapai batas maksimal.


Abu Musa adalah seorang ahli hukum yang cerdas dan berpikiran sehat, yang mampu mengerahkan perhatian mencapai kunci dan pokok persoalan, dan gemilang dalam berfatwa. Sehingga ada yang berkata, "Qadhi atau hakim umat ini ada empat orang; Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin Tsabit."

Di arena peperangan, Abu Musa Al-Asy'ari memikul tanggung jawab dengan penuh keberanian, hingga Rasulullah SAW pernah berkata mengenai dirinya, "Pemimpin dari orang-orang berkuda adalah Abu Musa."

Dalam medan tempur melawan imperium Persia, Abu Musa Al-Asy'ari mempunyai saham dan jasa besar. Bahkan dalam pertempuran di Tustar, yang dijadikan Hurmuzan sebagai benteng pertahanan terakhir, Abu Musa Al-Asy'ari menjadi pahlawan dan bintang lapangan.

Adapun dalam pertentangan dengan sesama Muslim, ia mengundurkan diri dan tak ingin terlibat di dalamnya. Pendiriannya ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Muawiyah.

Abu Musa Al-Asy'ari adalah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah SAW, juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan sahabat-sahabatnya.

Ketika Rasulullah masih hidup, beliau mengangkatnya bersama Mu'adz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah Rasulullah wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggungjawab dalam jihad besar yang sedang dijalani oleh tentara Islam melawan Persia dan Romawi.

Pada pemerintahan Umar bin Al-Khathab, ia diangkat sebagai gubernur di Bashrah. Sedangkan Khalifah Utsman bin Affan menunjuknya sebagai gubernur di Kufah.

Abu Musa termasuk ahli Al-Qur'an; menghapal, mendalami dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya yang memberikan bimbingan mengenai Al-Qur'an itu ialah, "Ikutilah Al-Qur'an... dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh Al-Qur'an!"

Ia juga termasuk ahli ibadah yang tabah. Pada waktu siang di musim panas—yang panasnya menyesakkan nafas—tidak menghalanginya untuk berpuasa. "Semoga rasa haus di terik siang ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari kiamat nanti," ujarnya.

Di hari yang cerah, ajal pun menjemputnya. Wajahnya menyinarkan cahaya cemerlang, wajah seorang yang mengharapkan rahmat dan pahala Allah. Kalimat yang selalu diulang-ulang dan menjadi buah bibirnya sepanjang hayatnya adalah kalimat yang juga menjadi buah bibirnya ketika menghadap Ilahi. "Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari-Mulah kumohon keselamatan."

Sumber: 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes